Sebut saja namanya Bintang. Anaknya pendiam. Semasa kecil dulu dia pernah mengalami “kekerasan”, dia dipukul oleh gurunya ketika masih duduk di kelas 3 SD. Gara-garanya dia tidak mengerjakan PR. Entah karena sudah sering tak mengerjakan PR atau bagaimana sehingga gurunya sampai setega itu memukulnya, aku kurang ingat ceritanya. Yang jelas setelah kejadian itu dia tak mau sekolah. Dibujuk ibunya, kakak-kakanya, teman-temannya maupun gurunya, tak ada yang mempan. Hal itu berlangsung hingga dia beranjak dewasa. Kini usianya 15 tahun. Dia tak tamat SD. Dia trauma akan sekolah.
Meski dia tak tamat SD, tetapi dia “melek” teknologi. Dia pandai mengutak-atik barang-barang elektronik semacam handphone, radio, televisi, ataupun komputer. Dia lihai mengoperasikan komputer dan sedikit banyak paham tentang instalasinya. Keterampilan itu dia dapatkan dari salah satu kakaknya yang memang sudah berpengalaman dalam bidang itu.
Dia adik sepupuku dari pihak ibuku. Beberapa waktu yang lalu dia datang ke rumahku bersama ibunya (bulikku). Dia ingin mencari pekerjaan di sekitar tempat tinggalku, Sidoarjo. Dia ingin ikut keluargaku, karena ibunya merasa keluargakulah yang bisa diharapkan. Bukan karena kami kaya, tetapi karena hubungan kami yang dekat. Dan karena kakak-kakaknya belum sanggup bila Bintang ikut bekerja dengan mereka.
Meski tak sesuai dengan keterampilannya, alhamdulillah dia segera bekerja di pabrik milik kakak sepupuku, sebut saja namanya mas Hari. Di perusahaan mas Hari itu dia bekerja sambil belajar membuat sarung handphone, tas laptop, dan sebagainya. Dia senang mendapatkan pengalaman baru di pabrik yang letaknya tak jauh dari rumahku itu.
Namun baru beberapa minggu dia tinggal di rumahku, ternyata ada masalah yang kian hari kian meruncing. Bapakku tak suka dengan sikap-sikap Bintang. Karena Bintang agak susah bila diajak berkomunikasi (responnya lambat), karena dia sering melamun, karena dia susah dibangunkan waktu shubuh, karena dia kurang menjaga kebersihan, dan lain-lain. Ibuku yang notabene adalah budhenya (kakak kandung ibunya) ternyata lama-kelamaan juga bersikap sama dengan bapakku. Dan ketidaksukaan itu berujung pada keinginan bapak ibuku untuk mengembalikan Bintang pada ibunya.
Aku dan suamiku kasihan pada Bintang. Kami maklum bila karakter dan kebiasaan dia seperti itu. Karena jiwanya pernah terluka. Selain trauma akan sekolah, bahkan bapaknya pernah sakit jiwa sebelum meninggal dunia, ketika Bintang masih bersekolah. Ibunya yang single parent mungkin tak sempat mengajarkan kedisiplinan, budi pekerti, ataupun kebaikan-kebaikan yang lain dengan sempurna. Karena beliau setiap hari juga sibuk berjualan bermacam-macam jajanan. Mungkin karena bapak ibuku sudah tua, sehingga mereka sudah tak sabar bila setiap hari disuguhi berbagai hal yang tak menyenangkan di depan mata mereka.
Maka aku dan suamiku selalu menasehati Bintang di belakang bapak ibuku. Kami katakan padanya bahwa bila dia kembali ke rumah maka pengalaman hidupnya akan sulit bertambah. Setiap hari hanya membantu ibunya membuat jajanan pasar, atau mengutak-atik perlengkapan elektronik tetangga yang itu-itu saja. Kami katakan padanya bahwa dia adalah seorang lelaki, yang nantinya punya tanggung jawab yang besar bagi rumah tangganya. Kami menyemangatinya bahwa meski tak tamat SD dia bisa sukses. Dia tak boleh minder dengan masa lalunya. Namun kami juga mengembalikan semua keputusan padanya. Kami hanya memberi masukan bahwa sebaiknya dia harus semakin berkembang seiring bertambah usianya. Dan akhirnya dia setuju. Dia ingin mencari pengalaman dan bekerja di Sidoarjo-Surabaya tempatku tinggal.
Lalu kami hubungi ibunya di Solo, kami katakan segala persoalan yang terjadi. Kami katakan agar beliau mau mensupport keinginan anaknya yang ingin berkembang. Alhamdulillah bulikku itu sangat pengertian. Beliau juga sudah paham dengan karakter bapak ibuku. Beliau juga sangat sabar. Tak lupa kami menyolidkan hubungan dengan mas Hari, agar dia juga mau mensupport keinginan Bintang.
Akhirnya Bintang tak jadi pulang kampung. Dia kucarikan kost di dekat rumahku agar bapak ibuku tak merasa terganggu lagi. Kucarikan yang dekat rumah agar aku mudah mengiriminya makanan untuk sarapan dan makan malam, maupun bekalnya ketika bekerja di pabrik. Kami katakan padanya bahwa dia harus kuat. Itulah salah satu tantangan hidup yang kelak mungkin bisa lebih berat lagi dari sekarang. Alhamdulillah, meski dia pendiam ternyata anak itu juga easy going. Jalani saja, santai saja, begitu katanya.
Selang beberapa minggu setelah dia nge-kost, tak disangka datang tawaran dari mas Hari pada Bintang untuk bekerja di Surabaya, di rumahnya. Dia ditawari untuk menjaga warnet dan menerima servis komputer. Alhamdulillah, akhirnya Bintang mendapatkan pekerjaan yang cocok. Dia senang sekali. Pun tak menjadi masalah ketika dia harus tinggal di rumah mas Hari yang baik hati itu. Ibunya pun ikut merasa senang karena anaknya tak lagi tinggal di kost sendirian. Kini, dia tak hanya menjaga warnet dan menerima servis komputer, mas Hari menambah bekal keterampilannya dengan mengikutkan Bintang pada sebuah kursus komputer.
***
Ada banyak usaha terbaik dalam hidup ini, baik dalam posisi sebagai anak, sebagai ibu, sebagai pelajar, sebagai suami/istri, dan sebagainya. Karena pada dasarnya manusia ingin melakukan usaha terbaik dalam mengatasi setiap permasalahan hidupnya. Setiap orang pasti ingin melakukan yang terbaik untuk dirinya, dan bahkan mungkin berusaha melakukannya pula untuk orang lain. Mungkin yang kulakukan bersama suamiku di atas tak seberapa, tetapi aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Bintang, dalam posisiku sebagai saudara sepupunya.
Tulisan ini tak bermaksud riya’, namun berharap dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Aamiin.
Meski dia tak tamat SD, tetapi dia “melek” teknologi. Dia pandai mengutak-atik barang-barang elektronik semacam handphone, radio, televisi, ataupun komputer. Dia lihai mengoperasikan komputer dan sedikit banyak paham tentang instalasinya. Keterampilan itu dia dapatkan dari salah satu kakaknya yang memang sudah berpengalaman dalam bidang itu.
Dia adik sepupuku dari pihak ibuku. Beberapa waktu yang lalu dia datang ke rumahku bersama ibunya (bulikku). Dia ingin mencari pekerjaan di sekitar tempat tinggalku, Sidoarjo. Dia ingin ikut keluargaku, karena ibunya merasa keluargakulah yang bisa diharapkan. Bukan karena kami kaya, tetapi karena hubungan kami yang dekat. Dan karena kakak-kakaknya belum sanggup bila Bintang ikut bekerja dengan mereka.
Meski tak sesuai dengan keterampilannya, alhamdulillah dia segera bekerja di pabrik milik kakak sepupuku, sebut saja namanya mas Hari. Di perusahaan mas Hari itu dia bekerja sambil belajar membuat sarung handphone, tas laptop, dan sebagainya. Dia senang mendapatkan pengalaman baru di pabrik yang letaknya tak jauh dari rumahku itu.
Namun baru beberapa minggu dia tinggal di rumahku, ternyata ada masalah yang kian hari kian meruncing. Bapakku tak suka dengan sikap-sikap Bintang. Karena Bintang agak susah bila diajak berkomunikasi (responnya lambat), karena dia sering melamun, karena dia susah dibangunkan waktu shubuh, karena dia kurang menjaga kebersihan, dan lain-lain. Ibuku yang notabene adalah budhenya (kakak kandung ibunya) ternyata lama-kelamaan juga bersikap sama dengan bapakku. Dan ketidaksukaan itu berujung pada keinginan bapak ibuku untuk mengembalikan Bintang pada ibunya.
Aku dan suamiku kasihan pada Bintang. Kami maklum bila karakter dan kebiasaan dia seperti itu. Karena jiwanya pernah terluka. Selain trauma akan sekolah, bahkan bapaknya pernah sakit jiwa sebelum meninggal dunia, ketika Bintang masih bersekolah. Ibunya yang single parent mungkin tak sempat mengajarkan kedisiplinan, budi pekerti, ataupun kebaikan-kebaikan yang lain dengan sempurna. Karena beliau setiap hari juga sibuk berjualan bermacam-macam jajanan. Mungkin karena bapak ibuku sudah tua, sehingga mereka sudah tak sabar bila setiap hari disuguhi berbagai hal yang tak menyenangkan di depan mata mereka.
Maka aku dan suamiku selalu menasehati Bintang di belakang bapak ibuku. Kami katakan padanya bahwa bila dia kembali ke rumah maka pengalaman hidupnya akan sulit bertambah. Setiap hari hanya membantu ibunya membuat jajanan pasar, atau mengutak-atik perlengkapan elektronik tetangga yang itu-itu saja. Kami katakan padanya bahwa dia adalah seorang lelaki, yang nantinya punya tanggung jawab yang besar bagi rumah tangganya. Kami menyemangatinya bahwa meski tak tamat SD dia bisa sukses. Dia tak boleh minder dengan masa lalunya. Namun kami juga mengembalikan semua keputusan padanya. Kami hanya memberi masukan bahwa sebaiknya dia harus semakin berkembang seiring bertambah usianya. Dan akhirnya dia setuju. Dia ingin mencari pengalaman dan bekerja di Sidoarjo-Surabaya tempatku tinggal.
Lalu kami hubungi ibunya di Solo, kami katakan segala persoalan yang terjadi. Kami katakan agar beliau mau mensupport keinginan anaknya yang ingin berkembang. Alhamdulillah bulikku itu sangat pengertian. Beliau juga sudah paham dengan karakter bapak ibuku. Beliau juga sangat sabar. Tak lupa kami menyolidkan hubungan dengan mas Hari, agar dia juga mau mensupport keinginan Bintang.
Akhirnya Bintang tak jadi pulang kampung. Dia kucarikan kost di dekat rumahku agar bapak ibuku tak merasa terganggu lagi. Kucarikan yang dekat rumah agar aku mudah mengiriminya makanan untuk sarapan dan makan malam, maupun bekalnya ketika bekerja di pabrik. Kami katakan padanya bahwa dia harus kuat. Itulah salah satu tantangan hidup yang kelak mungkin bisa lebih berat lagi dari sekarang. Alhamdulillah, meski dia pendiam ternyata anak itu juga easy going. Jalani saja, santai saja, begitu katanya.
Selang beberapa minggu setelah dia nge-kost, tak disangka datang tawaran dari mas Hari pada Bintang untuk bekerja di Surabaya, di rumahnya. Dia ditawari untuk menjaga warnet dan menerima servis komputer. Alhamdulillah, akhirnya Bintang mendapatkan pekerjaan yang cocok. Dia senang sekali. Pun tak menjadi masalah ketika dia harus tinggal di rumah mas Hari yang baik hati itu. Ibunya pun ikut merasa senang karena anaknya tak lagi tinggal di kost sendirian. Kini, dia tak hanya menjaga warnet dan menerima servis komputer, mas Hari menambah bekal keterampilannya dengan mengikutkan Bintang pada sebuah kursus komputer.
***
Ada banyak usaha terbaik dalam hidup ini, baik dalam posisi sebagai anak, sebagai ibu, sebagai pelajar, sebagai suami/istri, dan sebagainya. Karena pada dasarnya manusia ingin melakukan usaha terbaik dalam mengatasi setiap permasalahan hidupnya. Setiap orang pasti ingin melakukan yang terbaik untuk dirinya, dan bahkan mungkin berusaha melakukannya pula untuk orang lain. Mungkin yang kulakukan bersama suamiku di atas tak seberapa, tetapi aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Bintang, dalam posisiku sebagai saudara sepupunya.
Tulisan ini tak bermaksud riya’, namun berharap dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Aamiin.
Terima Kasih Partisipasinya di Semut Pelari give Away Time :)
ReplyDeleteterima kasih kembali :)
DeleteTraumanya dalam sekali ya mbak. Saya sula miris hati kalau mendengar sebuah trauma yang sulit hilang pada diri seseorang.
ReplyDeleteSemoga Bintang bisa menemukan kebahagiaan hidupnya.
iya Mbak.. karena bukan cuma satu masalah saja..
Deleteaamiin.. makasih doanya, Mbak :)
Ikut trenyuh baca cerita Bintang. Semoga Bintang mau berkembang dan bisa sukses hidupnya. aamiin...Ira
ReplyDeletetulisan ini terasa kaku setelah saya baca ulang, itu karena saya nulisnya kadang sambil nangis, Mbak.. saya juga trenyuh banget kalo inget cerita ini, inget sama sepupu saya itu..
Deleteaamiin.. makasih do'anya, Mbak Ira :)
hiks...ikutan sedih mbak...kudu tetap di support mbak Bintangnya...btw, smoga menang GA nya mbak...sukses buatmu...
ReplyDeleteiya Mbak, sedih..... sampai saat ini aku tetap mensupportnya, Mbak, eman dengan keterampilannya itu... terima kasih Mbak Nunung.. sukses juga buatmu.. aamiin...
Delete