credit |
Kalau melihat deretan buku di toko buku, rasanya saya ingin memborong buku-buku tersebut. Apalagi jika sudah melihat buku-buku incaran, rasanya ingin membeli semuanya. Tapi sayangnya, saya harus menahan keinginan itu. Ya, biasa, dana untuk belanja buku terbatas :). Maka dengan keterbatasan dana tersebut, saya harus mempunyai prioritas, buku mana yang paling saya inginkan atau butuhkan saat itu.
Biasanya, kalau saya ke toko buku saya sudah mempunyai tujuan, buku apa saja yang akan saya beli. Kalaupun membawa kelebihan uang, itu semata-mata untuk berjaga-jaga jika saya menginginkan satu-dua buah buku lain yang menarik hati. Biasanya, sih, si kecil yang suka begini. Ingin buku cerita, buku mewarnai, dan sejenisnya.
Sehubungan dengan prioritas dan isi dompet, maka bila ingin membeli buku saya harus benar-benar berpikir, agar tak menyesal karena salah dalam memilih buku. Biasanya, pertimbangan saya adalah sebagai berikut:
- Apakah buku itu benar-benar saya butuhkan saat ini? Apa manfaatnya? Apakah untuk mendidik anak, untuk menambah referensi/ilmu baru, sebagai koleksi, sebagai hiburan, atau yang lain? Misalnya saat ini anak-anak saya masih balita, jadi buku-buku tentang tumbuh kembang anak balita tentu akan saya butuhkan.
- Apakah isi atau konten buku itu benar-benar bagus? Saya bisa meraba-raba hal ini dengan membaca blurb atau sinopsis pada buku tersebut, atau bisa mengetahuinya dari testimoni seorang teman.
- Bila baru “kenal” atau melihat sebuah buku pertama kali di toko buku, lalu saya tertarik, pertimbangan saya sebelum membelinya antara lain dengan melihat judul, nama penulis, gambar kaver, blurb atau sinopsis buku, dan endorsment. Artinya saya akan melihat tampilan luarnya dulu, lalu membaca sekilas isinya bila sudah ada contoh buku yang terbuka sampul plastiknya. Bila cocok, saya baru membelinya.
Masalah Seputar Penerbitan Buku
Jika dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun yang lalu, saat ini perkembangan buku di Indonesia tampaknya semakin meningkat. Hal ini saya lihat dengan semakin banyaknya toko buku, perpustakaan dan persewaan buku. Tempat-tempat tersebut selain jumlahnya semakin meningkat, pengunjungnya pun tak kalah ramai. Misalnya di toko-toko buku besar seperti Gramedia atau Toga Mas, hampir tak pernah sepi pengunjung.
Sebagai warganegara Indonesia tentu saya sangat senang melihat situasi seperti ini. Tetapi ketika saya berada di luar tempat-tempat tersebut, apalagi jika berada di desa, saya jarang menjumpai masyarakat yang antusias terhadap buku. Mungkin hanya segelintir saja yang tertarik. Seperti ketika dulu saya masih sering menunggu anak sekolah di PAUD, saya seringkali membawa buku dan membacanya di sana. Namun ternyata hanya satu-dua orang ibu-ibu yang bertanya, saya sedang membaca apa. Kebanyakan mereka tak peduli, dan tetap asyik ngerumpi (ngobrol-ngobrol).
Minat baca masyarakat (dok. pribadi) |
Anak-anak muda di kampung pun tak jauh beda. Mereka lebih asyik bermain gadget (handphone) daripada membaca buku. Mungkin beda dengan anak muda di perkotaan. Banyak di antara mereka yang sangat suka dengan buku, namun tak sedikit pula yang lebih memilih gadget (dengan jenis gadget yang lebih bervariasi) sebagai teman pengisi waktu. Sehingga saya berpikir, rata-rata minat baca masyarakat memang masih rendah. Hanya di tempat-tempat berkumpulnya buku saja, maka di sanalah para pecinta buku berkumpul.
Di samping itu, buku memang belum menjadi kebutuhan yang utama bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama masyarakat di pedesaan. Contoh paling riil adalah saya sendiri. Sebenarnya saya sangat suka akan buku. Namun saya belum mempunyai anggaran khusus untuk belanja buku. Sehingga membeli buku, ya, kalau sedang butuh saja. Tidak pasti sebulan sekali saya belanja buku. Dengan ekonomi yang pas-pasan, kebutuhan belanja buku tergeser oleh kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih “meminta” untuk diprioritaskan. Seperti urusan rumah tangga dan sekolah anak, misalnya.
Selain minat baca masyarakat yang masih rendah, ada masalah-masalah lain mengenai buku yang saya lihat dan rasakan, antara lain sebagai berikut:
- Masalah buku pelajaran yang akhir-akhir ini seringkali dijumpai mempunyai konten yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan anak, bahkan ada yang berisi pornografi, tentu sangat tragis dan menyedihkan. Melihat anak-anak yang telah menjadi korban dari buku-buku yang tak bertanggung jawab tersebut, saya khawatir pemikiran mereka akan terkontaminasi oleh hal-hal buruk dari konten buku pelajaran tersebut, sehingga dapat merusak moralnya. Sebagai orang tua, tentu saya juga sangat khawatir bila hal itu menimpa anak-anak saya kelak. Semoga saja tidak.
- Tak jarang ketika membaca buku, saya sering terusik dengan tulisan-tulisan di dalamnya yang salah cetak (typo) atau tak sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Seringkali tanda baca diabaikan, atau berubah PoV (Point of View) pada buku non fiksi. Hehe.. jadi lucu membacanya. Bila hanya terdapat satu-dua kesalahan mungkin tak mengapa, namun bila dalam satu buku terdapat banyak kesalahan, saya kok menjadi risih. Saya berpikir, bagaimana tim editor yang menangani buku tersebut? Bagaimanakah kerjanya, apakah karena saking banyaknya buku yang dikerjakan? Apakah pihak penerbit kurang selektif dalam merekrut editor? Seharusnya, buku yang bagus adalah bagus kontennya sekaligus dengan penulisan yang baik dan benar pula.
- Lebih “mengenaskan” lagi jika saya membaca buku-buku yang diterbitkan secara indie atau self publishing. Banyak sekali typo di dalamnya. Bahkan mungkin mereka mengedit secara kasar saja buku-buku tersebut.
- Seperti yang saya tulis di atas, minat baca masyarakat pedesaan masih kurang. Saya berpikir, jika para penerbit bisa mendistribusikan buku-bukunya sampai ke pelosok desa, dengan kemudahan akses bagi masyarakat dalam memperolehnya, mungkin akan semakin banyak masyarakat pedesaan mencintai buku. Pendirian perpustakaan di desa, perpustakaan keliling, diadakannya pameran buku di sana, mungkin akan menarik perhatian masyarakat.
credit |
Dari semua itu, bagi saya permasalahan yang paling krusial dalam dunia penerbitan buku di Indonesia adalah mengenai kontennya. Menurut saya, buku-buku yang terbit di Indonesia selain kontennya harus bagus, kavernya bernilai positif, penulisannya pun juga harus yang baik dan benar sesuai EYD, termasuk buku-buku fiksi. Sehingga dari buku-buku tersebut masyarakat akan belajar langsung tentang penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sehingga bahasa nasional kita akan terjaga dengan baik dari masa ke masa. Jika bukan dari penerbit yang melakukan hal itu, siapa lagi? Apakah setiap orang yang membaca buku, harus didampingi guru bahasa Indonesia? -_-
Selain IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) yang harus melakukan kontrol (pengawasan) yang ketat terhadap konten buku, para penerbit juga seharusnya mempunyai kesadaran sendiri untuk hanya menerbitkan buku-buku yang bermutu. Karena melalui buku, masyarakat bisa melakukan perubahan. Tentu perubahan ke arah yang lebih baik yang kita inginkan. Kontrol masyarakat pun tetap diperlukan, karena kesalahan ataupun kelalaian dari penerbit bisa terjadi kapan saja.
Tulisan ini diikutsertakan dalam
(tema keenam)
gud lak mbak diah
ReplyDeletemakasih, Mbak Nunu.. gud lak juga :)
DeleteWaah suskes ya mak... Btw emang serem ya, lebih serem dari pelem horor deh, sering dengar di berita2 kalau banyak buku2 anak sd yang mengandung unsur porno, semoga anakku anak2 kita g sampai mengalami hal2 yang begituan nantinya kalau sudah sekolah.
ReplyDeleteyap, lebih serem dari pelem horor :) jelas itu Mak.
Deleteaamiin.. doa dan harapan kita bersama ya, Mak :)
minat baca buku memang rendah dinegara kita ya bund, anak-anak sekarang justru lebih asyik ke tivi atau gadget dibanding membaca buku.
ReplyDeletesemoga sukses ya bund, keikutsertaan dalam lomba blog #PameranBukuBdg2 014
ReplyDeleteiya, perlu kerja keras untuk "melawan" gadget :)
Deletesemoga sukses juga untuk the djhughiel'z :)