Bismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillah, tangan ini masih diberi kesempatan untuk menulis di blog ini :). Ternyata tak mudah bagi saya untuk rajin ngeblog (seperti niat saya beberapa minggu kemarin). Bulan Juli kemarin tak satu pun tulisan terposting di blog ini. Hiks.. Ya sudah, lupakan…. Syukuri saja saat ini masih bisa menulis untuk mengisi blog tercinta ini :).
Baiklah.. Ini sedikit cerita tentang mudik. Cerita yang sudah agak basi, ya :D
Dulu, waktu masih kecil (hingga dewasa) saya enggak kenal yang namanya mudik. Idul Fitri atau lebaran, ya, di rumah saja. Orang tua saya (terutama bapak) termasuk orang yang tidak mewajibkan acara mudik. Alasannya, kampung halaman bapak nun jauh di Banyumas, Purwokerto, sedangkan rumah kami saat itu ada di Solo. Jarak Solo-Banyumas bukan jarak yang dekat, sehingga memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menempuhnya bagi kami yang hidup pas-pasan saat itu. Sehingga kalau pun ke rumah kakek-nenek di Banyumas, ya, ketika ada urusan yang benar-benar urgent saja.
Alasan kedua, karena bapak saya selalu melandaskan urusan apapun pada syari’at Islam. Dan beliau termasuk orang yang kaku. Untuk urusan mudik, kata beliau, “Masa ada di zaman Rasulullah SAW acara mudik? Itu kan budaya orang Indonesia saja?” :).
Ya sudahlah….
Kalau kampung halaman ibu, ya, di Solo, tempat kami hidup sehari-hari. Rumah kakek-nenek pun tak jauh dari rumah kami. Cuma nyebrang kali (menyeberang sungai) saja sudah sampai. Dulu belum ada jembatan, sehingga kalau menyeberang sungai pakai perahu dayung gitu, hehe... Saya dan kakak-kakak sering main ke sana. Sehingga ketika lebaran, ya, seperti hari-hari biasa saja. Tentu bukan mudik namanya kalau hanya nyebrang sungai 5 menit, kan? :)
Jadi begitulah, sejak kecil hingga dewasa saya tak pernah merasakan mudik. Baru, setelah menikah saya dapat merasakan apa yang sebagaian besar orang Indonesia lainnya lakukan setiap lebaran tiba. Mudik! Yiiihhhaaa :D
Rehat di warung lesehan saat perjalanan mudik :) |
Saya dan suami mudik saat lebaran karena memang kami jarang pulang kampung. Jarak antara tempat tinggal kami yang sekarang (Sidoarjo) dengan kampung halaman suami (Nganjuk-Kediri) pun terjangkau, sehingga setiap lebaran kami bisa mudik. Selain itu mudik kami lakukan lebih pada keinginan bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara yang kesehariannya hidup di kota yang berbeda-beda. Tak dapat dipungkiri lebaran merupakan salah satu momen untuk bisa berkumpul, karena di saat itu pasti sebagian besar dari kita mendapat jatah libur bekerja atau sekolah yang lumayan lama. Sehingga kesempatan bertemu dengan keluarga besar sangat memungkinkan. Kalau di hari-hari lain, belum tentu, kan?
Keceriaan anak-anak saat bermain bersama saudara-saudaranya :) |
Kami pun juga fleksibel dalam menentukan waktu mudik. Artinya kami tidak mengharuskan shalat Idul Fitri di kampung halaman, atau mudik beberapa hari sebelum hari raya. Biasanya kami malah mudik setelah shalat Ied di Sidoarjo, karena kami menunggu kedatangan kakak saya yang dari Jakarta. Biasanya, dia akan ke Sidoarjo karena bapak ibu saya juga tinggal serumah dengan saya.
Begitulah kami, yang menganggap mudik bukan sesuatu yang wajib, namun tetap diutamakan ketika hari raya Idul Fitri tiba. Mudik merupakan momen untuk berkumpul dengan keluarga, mempererat tali silaturahim, dan membuat hari raya Idul Fitri lebih bermakna pun membahagiakan.
(to be continued, insya Allah..)
No comments
Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.