Credit (dengan editing). |
Emosi Ibu Meledak-ledak Saat Anak-anak Masih Kecil, Wajarkah? Saat awal-awal masih kuliah dulu, saya tinggal beberapa bulan di rumah budhe saya. Di rumah itu, bukan hanya ada budhe saya, melainkan bersama pula dengan anak-anaknya. Anaknya ada empat orang, dua sudah menikah dan dua lainnya belum. Anak pertama sebenarnya sudah punya tempat kost sendiri di dekat rumah budhe, tapi masih setiap hari ke rumah ibunya karena memang dari kecil tinggalnya di sana. Sedangkan anak kedua tetap tinggal di rumah budhe tersebut meski telah mempunyai 3 orang anak.
Nah, kali ini saya ingin bercerita tentang si anak nomer dua, sebut saja namanya mbak As.
(Btw, insya Allah ini bukan untuk membicarakan aib seseorang, lho ya, tapi sekadar mengambil hikmah yang mungkin bisa saya petik).
Mbak As anaknya ada 3. Saat itu, si nomer satu sedang duduk di bangku SMP, si nomer dua belajar di SD, dan si bungsu masih balita. Mbak As adalah seorang PNS, begitu juga sang suami. Otomatis, setiap hari anak-anaknya di rumah sendiri, ditemani oleh neneknya (budhe saya), seorang tetangga yang bertugas momong si bungsu, dan saya sendiri kalau lagi luang waktunya.
Yang membuat saya selalu terkenang dengan mbak As adalah, kesibukannya di tiap pagi dan sifat juteknya. Hihihi… iya, saat itu mbak As jutek banget orangnya. Dengan 3 orang anak yang masih usia sekolah dan balita, hari-hari mbak As (di pagi dan sore/malam hari) terlihat sibuk sekali. Selepas shalat Shubuh dia belanja sayur ke tetangga, setelah itu masak, cuci-cuci, dan menyiapkan segala keperluan anak-anak sekolah dan keperluan si balita.
Mbak As semakin sibuk karena si nomer satu dan nomer dua belum bisa mandiri. Si sulung meski sudah SMP baju-bajunya masih dicucikan ayahnya, enggak bantu-bantu masak ibunya, bangun pagi masih harus ditowel-towel berkali-kali, dan sebagainya. Begitu juga dengan si nomer dua. Sedangkan si balita, sering gumoh kalau disuapi, jadi cuciannya menumpuk. De el el….
Mbak As semakin sibuk karena si nomer satu dan nomer dua belum bisa mandiri. Si sulung meski sudah SMP baju-bajunya masih dicucikan ayahnya, enggak bantu-bantu masak ibunya, bangun pagi masih harus ditowel-towel berkali-kali, dan sebagainya. Begitu juga dengan si nomer dua. Sedangkan si balita, sering gumoh kalau disuapi, jadi cuciannya menumpuk. De el el….
Dengan situasi dan kondisi semacam itu, saya juga maklum kalau mbak As jadi jutek setiap hari. Dia sering marah-marah, hampir enggak pernah senyum apalagi ketawa, pokoknya mukanya cemberut terus, deh, kayaknya. Hampir tiap pagi ada omelan atau teriakan dari mbak As. Tapi juteknya ke anak-anaknya terlihat banget, kok, disertai dengan rasa sayangnya. Terbukti, saya enggak pernah lihat dia memukul atau melakukan tindak kekerasan apapun saat marah-marah ke anaknya.
Tapi ya itu, omelannya kadang panjang banget :D. Dan yang saya sayangkan, orang lain juga ikut-ikut kena imbasnya. Dia jarang ngomong ke saya, ke saudara-saudaranya juga seperlunya saja. Kalau ada tamu pun, dia enggan menemui. Dia mengandalkan anggota keluarga yang lain. Yang membuatnya bisa tersenyum dan "berhahahihi" adalah ketika teman-teman kantornya berkunjung ke rumah, atau kalau sedang bertelepon-ria dengan teman-temannya itu.
Tapi ya itu, omelannya kadang panjang banget :D. Dan yang saya sayangkan, orang lain juga ikut-ikut kena imbasnya. Dia jarang ngomong ke saya, ke saudara-saudaranya juga seperlunya saja. Kalau ada tamu pun, dia enggan menemui. Dia mengandalkan anggota keluarga yang lain. Yang membuatnya bisa tersenyum dan "berhahahihi" adalah ketika teman-teman kantornya berkunjung ke rumah, atau kalau sedang bertelepon-ria dengan teman-temannya itu.
Kejutan Istimewa
Waktu demi waktu berlalu, dan saya hanya beberapa bulan saja bersama budhe, mbak As, dan kakak-kakak sepupu lainnya. Setelah saya pindah, kadang saya juga main ke rumah budhe. Dan, mbak As masih sama: jutek. Setelah saya berkeluarga dan punya anak, saya juga kadang main ke sana. Lagi-lagi masih sama: mbak As tuh jutek! Hanya ada perubahan sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun. Kalau dulu dia selalu ngumpet di kamar, pelan-pelan dia mulai berubah.
Hingga beberapa waktu lalu, saya memperoleh kejutan istimewa.
Saat itu saya berkunjung ke rumah budhe (sekarang hanya ditempati oleh mbak As sekeluarga, karena anak-anak budhe yang lain sudah punya rumah sendiri-sendiri dan budhe ikut anak bungsunya). Saya berniat menjenguk mbak As yang kabarnya sedang sakit dan baru pulang dari opname. Apa yang saya temui di sana?
“Assalamu’alaikum…” seru saya di depan pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam…” ternyata mbak As sendiri yang menjawab. Rupanya dia lagi asyik di depan komputer di samping ruang tamu.
“Ya Allah… Makasih, ya, Diah, jauh-jauh dateng cuma mau jenguk aku, Rek….”
Waw!! Mbak As ramah sekali! Eh, tapi tunggu, barangkali itu cuma kalimat penyambutan atas kedatangan saya??
“Alhamdulillah aku sudah baikan, Diah… jadi kemarin itu aku opname selama 8 hari… Bla bla bla….”
Belum sempat saya menurunkan si kecil dari gendongan, mbak As sudah mulai bercerita ngalor-ngidul. Dia bercerita terus sambil menyuguhkan beberapa toples cemilan dan minuman ringan. Sesekali juga memanggil anaknya untuk mencarikan ini-itu untuk menjamu saya dan keluarga. Ini benar-benar surprise!
Sekarang keadaan memang telah berubah. Si anak nomer satu sudah bekerja, si nomer dua sudah kuliah, sedangkan si nomer tiga sudah mau lulus SD. Mbak As sudah bisa lebih santai menjalani hari-harinya.
Mbak As Cermin Bagi Saya
Setelah pertemuan itu hubungan kami semakin dekat. Kalau biasanya cuma diem aja tak saling sapa di medsos, akhir-akhir ini dia makin ramah ke saya. Bukan hanya kepada saya saja, ke sanak saudara dan tetangga-tetangga pun sekarang mbak As ramah banget. Nah, sampai di titik ini saya (dan betapa bodohnya saya) baru menyadari akan satu hal. Saya bilang ke suami:
"Sekarang mbak As beda, deh, Bi. Dulu jutek banget, tapi sekarang ramah banget. Mungkin karena dulu anak-anaknya masih kecil-kecil kali, ya? Jadi serba repot terus menguras emosi?"
"Ya iyalah, kondisi kayak gitu juga mempengaruhi emosi. Sama, kan, kayak Ummi?"
Lhadalah... Bener banget! Ternyata mbak As itu ibarat cermin buat saya saat ini! Dia sering marah-marah dan jutek begitu karena mungkin kecapekan, baik fisik maupun psikisnya. Nah... Sekarang saya bisa merasakan sendiri, bagaimana tidak mudahnya mengasuh dan mendidik anak-anak. Apalagi tiap anak itu unik, perlu penanganan yang berbeda-beda. Mungkin, saat mbak As "berhahahihi" dengan teman-temannya itu, itulah saatnya dia punya "me time". Dan itu jarang banget dia dapatkan.
Hiks... iya, sekarang saya sering banget marah-marah. Emosi saya sering meledak-ledak. Kadang saya marah ke anak-anak, kadang juga ke suami. Tapi alhamdulillah tetangga atau tamu yang datang ke rumah enggak sampai kecipratan marahnya :D.
Sebabnya apa? Ya, sama dengan mbak As, kerepotan mengurus anak-anak membuat saya sering naik darah. Mesti ngomong terus supaya anak mau mandi, beresin mainan, supaya tidur siang, dan lain-lain. Kadang saya juga pengen istirahat sebentar saja, eh, ternyata anak minta dianter pipis atau BAB. Atau saat pengen menikmati makan, anak sering banget ngerusuh (kalau nunggu tidurnya saya keburu laparrr :D ). Belum lagi si kakak yang belum mau mengalah sama adiknya kalau bermain. Duh.... bener-bener menguji kesabaran. Hehehe... *curhat abis*
Saya kadang merasa tenang kalau sedang sharing dengan teman-teman sesama ibu-ibu, atau membaca curhatan ibu-ibu muda di medsos. Mereka kondisinya juga hampir sama dengan saya. Kadang merasa capek mengurus anak, tidak bisa mendapat "me time", dan semacamnya. Mengingat kisah mbak As, saya jadi berfikir, ini hanya akan berlangsung sementara. Kelak, jika anak-anak sudah dewasa, sudah bisa mandiri melakukan segala aktivitas hariannya, mungkin saya juga akan seperti mbak As. Bisa enjoy menjalani keseharian saya.
Nah, teman-teman sesama ibu yang sedang membaca tulisan saya ini, gimana pengalamannya saat anak-anak masih kecil? Suka naik darah juga gak? Emosi ibu yang meledak-ledak saat anak-anak masih kecil itu, wajarkah? Sharing, dong... :).
Sekarang keadaan memang telah berubah. Si anak nomer satu sudah bekerja, si nomer dua sudah kuliah, sedangkan si nomer tiga sudah mau lulus SD. Mbak As sudah bisa lebih santai menjalani hari-harinya.
Mbak As Cermin Bagi Saya
Setelah pertemuan itu hubungan kami semakin dekat. Kalau biasanya cuma diem aja tak saling sapa di medsos, akhir-akhir ini dia makin ramah ke saya. Bukan hanya kepada saya saja, ke sanak saudara dan tetangga-tetangga pun sekarang mbak As ramah banget. Nah, sampai di titik ini saya (dan betapa bodohnya saya) baru menyadari akan satu hal. Saya bilang ke suami:
"Sekarang mbak As beda, deh, Bi. Dulu jutek banget, tapi sekarang ramah banget. Mungkin karena dulu anak-anaknya masih kecil-kecil kali, ya? Jadi serba repot terus menguras emosi?"
"Ya iyalah, kondisi kayak gitu juga mempengaruhi emosi. Sama, kan, kayak Ummi?"
Lhadalah... Bener banget! Ternyata mbak As itu ibarat cermin buat saya saat ini! Dia sering marah-marah dan jutek begitu karena mungkin kecapekan, baik fisik maupun psikisnya. Nah... Sekarang saya bisa merasakan sendiri, bagaimana tidak mudahnya mengasuh dan mendidik anak-anak. Apalagi tiap anak itu unik, perlu penanganan yang berbeda-beda. Mungkin, saat mbak As "berhahahihi" dengan teman-temannya itu, itulah saatnya dia punya "me time". Dan itu jarang banget dia dapatkan.
Hiks... iya, sekarang saya sering banget marah-marah. Emosi saya sering meledak-ledak. Kadang saya marah ke anak-anak, kadang juga ke suami. Tapi alhamdulillah tetangga atau tamu yang datang ke rumah enggak sampai kecipratan marahnya :D.
Sebabnya apa? Ya, sama dengan mbak As, kerepotan mengurus anak-anak membuat saya sering naik darah. Mesti ngomong terus supaya anak mau mandi, beresin mainan, supaya tidur siang, dan lain-lain. Kadang saya juga pengen istirahat sebentar saja, eh, ternyata anak minta dianter pipis atau BAB. Atau saat pengen menikmati makan, anak sering banget ngerusuh (kalau nunggu tidurnya saya keburu laparrr :D ). Belum lagi si kakak yang belum mau mengalah sama adiknya kalau bermain. Duh.... bener-bener menguji kesabaran. Hehehe... *curhat abis*
Saya kadang merasa tenang kalau sedang sharing dengan teman-teman sesama ibu-ibu, atau membaca curhatan ibu-ibu muda di medsos. Mereka kondisinya juga hampir sama dengan saya. Kadang merasa capek mengurus anak, tidak bisa mendapat "me time", dan semacamnya. Mengingat kisah mbak As, saya jadi berfikir, ini hanya akan berlangsung sementara. Kelak, jika anak-anak sudah dewasa, sudah bisa mandiri melakukan segala aktivitas hariannya, mungkin saya juga akan seperti mbak As. Bisa enjoy menjalani keseharian saya.
Nah, teman-teman sesama ibu yang sedang membaca tulisan saya ini, gimana pengalamannya saat anak-anak masih kecil? Suka naik darah juga gak? Emosi ibu yang meledak-ledak saat anak-anak masih kecil itu, wajarkah? Sharing, dong... :).
Mbak diah,, i heart you deh, sama banget, kalau boleh narik kesimpulan ya, bener juga kata orang tua kita, mending punya anak jaraknya demnpet2 sekaligus, capek sekalian stress sekalian, setelah besar, kan besar barengan semua, org tuanya tinggal nyantai yah.. hihihi
ReplyDeleteToss Mba'.. ��
ReplyDeleteAku juga kadang sering marah sama si kecil, padahal dia masih balita, belum ngerti apa-apa ��, untuk meminimalisir marah-marah sama si kecil aku sampai bikin tulisan-tulisan motivasi biar nggak marah, ditempel di dinding rumah, tiap kali mau marah, tulisannya diliat, memang ngaruhnya cuma dikit sih, tapi buat jaga-jaga biar marahnya nggak sampai berlebihan.��
bener banget ini mba... akupun pas lahir anak pertama sempet babyblues.. padahal ada baby sitter waktu itu... tapi ttep kan malamnya si baby tidur ama aku.. nah gara2 jdwal tidur yg berubah drastis, jd sebel ama si babynya.. cuma bedanya aku jd diem.. ga marah2 meledak, tp ga mau samasekali megang si baby... makanya anak pertama cuma 1,5 bulan dpt asi.. waktu itu bawaan, aku pgn lgs balik kantor, kerja lagi... ga kuat samasekali kalo hrs disuruh jaga anak dan tnggal di rumah.
ReplyDeletebelajar dr sana, berharapnya sih anak kedua ini ga bikin aku begitu lagi.. :) nyesel juga soalnya...
Bener banget nih mba,, anakku sekarang masih kecil, dan sering banget bikin aku naik darah.. tapi aku selalu usahain biar gak ngebentak,, dan kalo lagi marah, aku lebih ke diem aja, kalo marahnya udahan baru deh aku ngomong. Takut kelepasan mba klo nggak diem.. hehehe
ReplyDeleteIyah...sering hehe
ReplyDeletekatanya sih..gitu..mungkin karena cape..... n dibawa serius terus..
ReplyDeleteSaya inget dulu wkt anak pertama baru lahir dan msh LDR dg suami bawaannya gitu mba gampang emosi secara msh blm punya pengalaman momong anak trs jg ada keterbatasan, tp wkt anak kedua lhr lbh bisa meredam emosi krn suami sdh dkt trs jg ada yg bantu momong anak. Jadi intinya slm msh ada org2 disektr yg lbh care terhdp ibu n anak emosi ibu msh bisa dikendalikan. Hemmmm....jadi curhat salam utk kelg mba.
ReplyDeleteMe time memang penting untuk setiap ibu, agar ibu tetap "waras" yah Mbak..
ReplyDeleteSaya juga gitu Mbak, teriak2 mulu, marah kadang2. Lha wong disuruh mandi malah main, mau pakai baju malah tiduran dsb. Tapi ya maklum Baru 3tahun, dinikmati Aja prosesnya toh kalau mereka udah besar kita pasti akan merindukan saat seperti itu :)
ReplyDeletedulu sebelum nikah saya kecewa melihat mamak2 yang gampang emosian, tapi setelah nikah saya maklum, walau begitu tergantung mamak-mamaknya juga, ada lho emak2 yang asyik nonton tipi si anak minta buka baju doang, langsung sengit nggak ketulungan. Ini sih nggak wajar
ReplyDeleteSaya kalau lagi uring-uringan sama anak biasanya nyempatin buat ber-me-time ria, Mba.. Bisa sedikit menenangkan fikiran. :)
ReplyDeleteWaah itu saya bangeet.. Saya berubah jadi pemarah sejak punya anak. Anak-anak memang anugerah sekaligus ujian hehe..
ReplyDeletetapi kenyataannya sampai dewasa pun ortu masih cawe-cawe dg anak, spt menikahkan, bantu nyarikan kerjaan, punya cucu ikut ngasuh cucu, ikut bantu beli rumah, dll... so nggak ada habisnya tanggung jawab jd ortu
ReplyDeletesaya pun kadang suka emosi tapi ngak pernah sampai marah paling saya tarik napas panjang or anak saya kasih suami dulu biar reda baru deh ajak main lagi anaknya. kalau anak masih kecil kadang mereka memang belom ngerti kan ya tapi kadang kita maunya mereka cepet paham hahaha susah juga neh emak galau
ReplyDeleteInza Allah Astin yang ini gak jutek hihiii. Bener sich, sebelum aku punya anak, aku tuh gak ada suaranya, anak pertama lahir masih kalem..anak ke dua lahir..huaaaa....terlihat sisi cerewet dan gampang marah ***hehee
ReplyDeleteHallooo mbak Diah, kalo lg marah makin menggemaskan ih .. hihi.
ReplyDeleteMarah ekspresi yg so natural, nah kalo gak bisa marah, bisa berabe, diempet gitu ... akhirannya duaaarrr meledaknya luarbiasa.
Yg penting, terkontrol. Kalo marah memuncak, sgr alihkan suasana. Banyakin istighfar ... bhw anak adalah amanah yg kita hrs dpt menunaikannya dg baik n benar, memenuhi haknya.
Masya Allah pahalanya dalam mendidik anak ... sangatlah besar. Tabungan buat para orang tua kelak setelah meninggal. Doa anak sholih lah yg tetap mengalir pahalanya kpd orangtua.
Kalo emak2 sdh ngobrolin anak jadi betaah gini nih.
Salam buat mbak As,
Maaaakkkk ..krompyaaanggg. oohh lagi bersih2 piring yah, kirain.
Terimakasih postingannya bagus, pelajaran yg dalem.
mbak ijin follow blog-na yg kereennn. terimakasih.
DeleteTerima kasih, Mbak. Saya juga sudah follow, tuh :)
DeleteKetika anak2 masih kecil, seringkali ekonomi keluarga belum mapan, ditambah kelelahan fisik & mental karena anak2 terlalu kecil untuk memahami kondisi orangtuanya. Ibu2 yg kelelahan bisa tiba2 meledak emosinya. Kalau suami nggak aware, akibatnya bisa fatal. Jadi ingat seorang ibu yg bunuh diri & membunuh 3 anaknya sudah lama dulu. Padahal keluarga mereka terlihat baik2 saja, pasutri yg sama2 berpendidikan tinggi & cerdas, hanya saja si suami terlalu sibuk. Kalau nggak salah orang ITB.
ReplyDelete