Masa lalu adalah masa yang menyimpan begitu banyak kenangan. Suatu masa yang bagi saya sulit untuk dilupakan karena memang tak ingin melupakan. Masa yang tak semuanya indah tapi penuh pelajaran untuk masa depan.
Saya menghabiskan masa balita hingga awal-awal SD di sebuah desa di Solo. Sejak balita saya mempunyai teman-teman bermain yang baik, mereka adalah para tetangga yang seumuran dan kebanyakan anak perempuan. Kami sering bermain sepeda bersama, bermain masak-masakan, nonton tivi hitam putih di rumah teman, dan lain-lain. Sayang, saat kelas 2 SD, rumah kami semua terkena penggusuran proyek normalisasi Sungai Bengawan Solo, yang mengharuskan kami pindah rumah ke lain daerah.
Di rumah yang baru, saya juga mempunyai teman dekat. Dia adalah teman sekelas yang juga tetangga sebelah rumah. Dan memang, di dekat rumah saya hanya dia yang seusia dengan saya. Otomatis, masa SD saya hampir sepenuhnya dihabiskan bersama Nining, teman saya itu. Kami hampir tiap hari bermain dan belajar bersama, dari bermain di dekat rumah hingga bersepeda ke rumah teman-teman kami yang jaraknya lumayan jauh.
Tapi masa kecil tak sepenuhnya indah. Kami tak bisa terus bermain sepuasnya, karena kami memang tumbuh semakin besar dan punya tanggung jawab untuk belajar dan mengurus diri sendiri, tak hanya melulu bermain setiap hari. Bapak dan ibu saya termasuk orang yang keras dalam mendidik anak-anaknya. Sehingga jika saya terlalu lama bermain, mereka akan memarahi saya.
Pendidikan yang Keras dari Orangtua
Alhamdulillah saya dikaruniai Allah kecerdasan yang lebih tinggi dalam hal akademik dibanding Nining. Saya selalu masuk ranking 3 besar di sekolah, sedangkan ranking Nining biasanya di atas 10. Mungkin itu yang jadi alasan bapak/ibu melarang saya bermain terlalu lama dengan Nining. “Jangan main terus sama Nining, nanti enggak belajar kamu!” begitu yang kadang dikatakan oleh bapak/ibu.
Bahkan saya yang masih kecil tak kunjung mengerti saat bapak mengatakan, “Kamu enggak usah nyamperin Nining. Nanti, kan, jalannya ke sekolah ke arah sini. Jadi Nining yang seharusnya nyamperin kamu. Kamu nunggu di rumah saja.”
Saya enggak boleh ke rumahnya (yang letaknya bersebelahan dengan rumah saya) saat hendak berangkat sekolah hanya karena alasan itu. Hal yang ketika saya dewasa baru mengerti kalau itu hanya membuat batasan dalam pertemanan. Hitung-hitungan dalam berteman. Dan saya tidak setuju.
Saya juga harus membantu ibu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dulu kalau ingin bermain. Mungkin karena himpitan ekonomi yang terjadi pada keluarga kami kala itu, ibu jadi sering marah-marah pada kami, anak-anaknya. Sehingga jika beliau sedang sibuk sedangkan kami asyik bermain, beliau akan marah-marah. Sering, ketika saya sedang asyik di depan rumah, tiba-tiba ibu berteriak seperti,
“Diah, ambilkan centonggg!!” padahal centong yang dimaksud letaknya hanya selangkah-dua langkah dari tempat duduk ibu. Hehehe… Ya, ibu mungkin hanya ingin ditemani dan dibantu anak-anaknya.
Atau ketika kami akan bermain ke rumah teman laki-laki, bapak mengatakan tidak boleh. Kalau saya tidak salah ingat, waktu itu bapak sudah menerangkan bagaimana cara berteman secara Islam. Diantaranya menjaga jarak antara laki-laki dan perempuan. Otak saya yang masih polos menerima pesan itu dengan sempurna, yang akhirnya menjadi mindset hingga beberapa tahun ke depan dalam hidup saya. Saya sangat membatasi pergaulan dengan lawan jenis (hal yang ketika dewasa kemudian saya rasa ada benarnya, tetapi juga saya pikir terlalu kaku). Saya yang penurut selalu menuruti apapun nasehat dan perintah orangtua. Beda dengan kakak laki-laki saya, dia kadang “memberontak” dengan caranya sendiri (namun justru dengan cara itulah yang pada akhirnya kelak menjadikan kakak saya seorang yang berani mengambil resiko dan lebih kreatif, tidak seperti saya).
Ketika saya SMP, saya tak lagi memiliki teman dekat seperti Nining. Entahlah, sepertinya semua teman sama, tak ada yang begitu dekat meskipun itu teman semeja. Mereka kadang juga main ke rumah, baik sekadar main atau mengerjakan tugas bersama. Tapi tak ada yang spesial. Teman laki-laki? Duh, jangan tanya. Waktu ada seorang teman lelaki yang mengatakan ingin main ke rumah saya, saya langsung bilang, “Enggak usah, nanti dimarahi bapakku.” :(.
Saya Introvert dan Merasa Terdiskriminasi
Sepertinya sejak saat itulah saya merasa kesepian dalam berteman. Saya juga menjadi anak yang lebih pendiam daripada sebelumnya. Meski saya tergolong anak yang pintar di kelas dan sering dimintai tolong untuk menjelaskan pelajaran yang diajarkan guru, tapi saya merasa teman-teman hanya mendekat jika mereka butuh saya. Saya ingat, seringkali, ketika saya naik bus ke sekolah, kursi di sebelah saya kosong karena teman-teman memilih kursi lain. Kursi di sebelah saya itu baru akan terisi jika pilihan kursi di bus tinggal sedikit. Entahlah, apakah saya yang terlalu pendiam sehingga mereka enggan mendekat dengan saya. Saya jadi introvert dan merasa terdiskriminasi. Saya kadang merasa ada tapi tiada.
Keadaan itu berlanjut hingga saya duduk di bangku SMEA. Meski di SMEA saya punya beberapa teman yang “ke sana-ke mari selalu bersama”, tapi saya merasa terkotak di lingkaran pertemanan yang itu saja. Saya tak bisa bergaul dengan lebih banyak teman. Dan sepertinya mereka juga ogah mendekat pada saya. Mungkin karena saya enggak cantik, saya miskin, saya enggak gaul. Saya menjadi remaja yang pendiam, introvert, kuper, minder, tak punya rasa percaya diri yang bagus, dan kurang motivasi. Ya, bagaimana orang-orang di sekitar saya mau memotivasi, sedangkan saya tak pernah membuka diri kepada mereka? Saya jarang sekali curhat pada teman-teman. Apalagi kepada kedua orangtua, saya tak pernah curhat pada mereka. Saya takut dimarahi, saya takut disalahkan, dan saya takut diatur-atur.
Selepas SMEA saya bekerja di beberapa tempat, berpindah-pindah. Dari pengalaman bekerja itu, saya bisa bergaul dengan lebih banyak orang dengan berbagai karakter dan berbagai usia. Sedikit demi sedikit hal itu mengubah kepribadian saya. Hingga ketika kemudian saya kuliah, saya menjadi pribadi yang lebih terbuka. Saya kembali mempunyai teman dekat, sehingga saya sering curhat padanya meski tak semuanya saya ceritakan. Tapi pada orangtua, saya tetap memilih tertutup. Saya takut mereka terlalu ikut campur dalam masalah-masalah saya, saya takut terlalu diatur-atur.
Menemukan “Kemerdekaan”
Kesepian saya berakhir dan saya seperti menemukan “kemerdekaan” ketika saya menikah. Saya menemukan orang yang bisa saya curhati semau-mau saya tentang semua-muanya. Suami saya, seseorang yang baru saya kenal setelah akad nikah itu, entah kenapa justru menjadi tempat curhat saya yang paling nyaman. Saya merasa dialah orang yang tepat untuk menampung segala keluh kesah dan rahasia saya. Mungkin itulah rahasia jodoh, kami merasa nyaman satu sama lain, saling percaya, meskipun sebelumnya tak saling mengenal.
Saya juga seperti menemukan angin segar ketika saya berkenalan dengan jejaring sosial media. Ya, internet juga telah banyak membantu saya. Karena di sana, saya bisa mengungkapkan isi hati meskipun saya buat tersamar. Saya bisa menjadi orang yang lebih terbuka. Bagi saya, sosial media memberikan ruang bagi orang-orang introvert seperti saya untuk bebas berekspresi. Menemukan dunia lain dan berkenalan dengan orang-orang yang belum mengetahui saya yang sesungguhnya.
Dan sekarang, inilah saya. Sosok yang masih terbilang pendiam dan sedikit introvert, tapi sudah lebih “rame” daripada yang dulu.
Dari sepenggal sisi lain kisah perjalanan hidup saya tersebut, saya tak sepenuhnya menyalahkan orangtua dalam hal mendidik kami, anak-anaknya. Mungkin ada banyak faktor yang membuat mereka seperti itu, dan saya tidak mengetahuinya. Bagaimanapun, orangtualah yang menjadikan saya seperti yang sekarang ini.
Saya hanya akan mengambil pelajaran hidup dari masa lalu saya itu. Diantaranya adalah bagaimana saya mendidik anak-anak saya agar bisa lebih baik dari saya. Maka yang bisa dan akan terus saya lakukan adalah:
- Saya tak ingin terlalu keras dalam mendidik anak-anak saya. Karena saya ingin mereka dekat dengan saya, sehingga mereka bisa dengan bebas mengutarakan isi hatinya, tak takut mengatakan segala masalahnya pada saya dan ayahnya. Saya ingin mendengar setiap cerita dari isi hatinya, ingin mereka nyaman bersama saya, ingin selalu dekat dengan mereka hingga mereka dewasa kelak.
- Saya akan membebaskan anak dalam pilihan-pilihan mereka, namun saya akan memberikan bekal bahwa pilihan mereka harus yang positif, terutama sesuai aturan agama (syari’at Islam).
- Saya tak ingin anak-anak saya menjadi introvert, tak percaya diri, dan sifat-sifat buruk lain seperti yang saya punyai. Karenanya saya berusaha memotivasi mereka untuk bergaul seluas-luasnya dengan tetap memberikan kontrol.
- Anak-anak mempunyai sifat yang berbeda-beda. Saya sebagai orangtua harus bisa memahami sifat mereka dan memberikan perlakuan dalam mendidik sesuai sifatnya tersebut. Anak yang penurut akan selalu menuruti perintah orangtuanya, yang bisa saja justru akan menghambat kreativitas dan keberaniannya. Sebaliknya anak yang suka memberontak bisa kebablasan jika dibiarkan. Saya harus bisa mengendalikan sifat-sifat mereka dengan cara sesering mungkin berkomunikasi dengan mereka.
- Saya dan suami selalu berusaha bekerjasama untuk mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Sekarang ini ilmu parenting bertebaran di mana-mana, sehingga kami bisa dengan mudah mengambil ilmu-ilmu itu dan saling mengingatkan dengan berbagi informasi tentang pendidikan parenting yang baik, yang sesuai tuntunan Islam.
Semoga, pahit-manis kenangan akan masa lalu saya bisa memberikan pelajaran yang berharga untuk menjadikan anak-anak saya generasi yang lebih baik. Generasi yang cerdas, terbuka, shalih dan shalihah pada zamannya. Aamiin.
*****
Oh iya, karena tulisan ini saya buat selain untuk update blog juga sekaligus untuk mengikuti Giveaway-nya mbak Ika Puspitasari, maka saya akan memberikan kesan pesan terhadap beliau :)
Terima kasih, Mbak Ika, sudah beberapa kali mengunjungi rumah maya saya ini. Komen-komen Mbak selalu baik, yang ujungnya mempererat hubungan kita sebagai sesama blogger. Tetap semangat menulis ya, Mbak, keep blogging, meski mungkin usia sudah tak lagi muda *seperti saya :).
Selamat menapaki usia selanjutnya, semoga ke depan usianya semakin berkah, semakin sukses dunia-akhirat. Aamiin.
saya juga terlalu kaku mba dalam bergaul (apalagi dnegan lawan jenis). Pd saat SMP bapak dengan keras melarang pacaran tp tanpa memberitahu kenapa. pada saaat kuliah, kakak kelas melarang keras pacaran katanya dosa..
ReplyDeletesalut untuk mbak, yang bisa mengambil pelajaran dari kisah lalunya. Nggak semua orang bisa demikian, apalagi nggak pernah sakit hati krn namanya orang tua ya mba.
ReplyDeleteEh, namanya kok sama dgn panggilan saya Nining :)
saya juga introvert kok mbak, pernah punya ketakutan sosial dan kemudian berubah pelan-pelan. Bersyukur mbaknya dianugerahi suami yang bisa nampung. Saya juga turut mendoakan tuk anak-anaknya ya
ReplyDeleteInilah hidup...berubah ke arah yang lebih baik.. mampu mengambil hikmah dari kejadian sebelumnya...insya Allah kita termasuk orang-orang yang beruntung
ReplyDeletekita senasib mbak, saya juga menemukan kebebasan saya setelah menikah. saya jadi bisa ekspresif ketika dapet surprise, jadi cerewet dan lebih percaya diri. ^^
ReplyDeleteNice Post, belajar untuk terus menjadi lebih baik dari hari ke hari. Masa lalu sebagai pemacu untuk dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, serta dapat mengajarkan kita banyak hal. Semoga kita semua menjadi semakin lebih baik
ReplyDeletePengalaman jadi guru terbaik ya mba, masa lalu,didikan org tua berpengaruh sekali ke anak. Alhamdulillah setelah menikah keliatan bgt aura bahagianya dari tulisan mba, barakallah utk mba Diah dan keluarga :)
ReplyDeleteSubhanallah dijodohin ya? Ortu mencarikan jodoh pastilah yang terbaik buat anaknya :))
ReplyDeleteIya dijodohin, Mbak Lusi. Tapi yg jodohin ustadzah dan teman saya, bukan dari ortu :)
DeleteSaya juga introvert loh mak, dan di jodohkan juga :))
ReplyDeleteMeskipun dijodohkan tetap samara ya mba DK, sukses dg GAnya
ReplyDeleteYa, suami memang sahabat sejati kita, mbak...yang akhirnya tahu semua kekurangan dan kelebihan kita baik fisik maupun mental. Tetap semangat, ya! sukses GA nya...maaf jarang jejak...kambuhan soalnya :D
ReplyDeleteBtw, katanya istilah yang lebih tepat itu, media sosial, bukan sosial media, cmiiw...:-)
Waktu SMA pun aku termasuk pendiam, lho Mbak. Pas kuliah mulai deh banyak temen meskipun ga seheboh yang lainnya. Waktu itu pernah merasa envy lihat temen-temen yang ngegank dan suka pergi rame-rame. Eh sekarang saya terhubung lagi dengan teman-teman lama waktu di SMA, meski cuma medsos. Lucunya kok saya merasa ga kagok meski dulu ga terlalu dekat.
ReplyDeletewah, sama ya. suami jadi tempat curhat. saya malah sebaliknya Mbak, termasuk periang dan ektrovert. tapi di dunia maya, saya lebih memilih jadi pengamat dan penikmat kelakuan orang-orang saja. kalau ketemu, asilnya rame :)
ReplyDeleteAlhamdulillah bisa mengambil pelajaran berharga untuk anak-anak Mbak.
ReplyDelete