credit (dengan editing) |
Sewaktu anak saya masuk Taman Kanak-kanak (TK) tahun lalu, saya sempat kaget waktu tahu jam pulang belajarnya. Pukul 11.00 setiap hari Senin sampai Kamis, Jumat pukul 10.00, dan Sabtu pukul 10.30. Wah, siang juga, ya, pulangnya? Pikir saya saat itu. Karena dulu, zaman saya TK, seingat saya pulangnya pukul 09.00 atau 10.00. Eh, sekolah zaman sekarang waktu belajarnya lebih lama, ya, ternyata? *ke mana aja, Buk?*
Saya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar dan Menengah mulai tahun 90-an hingga awal 2000-an. Selama itu pula saya selalu melakukan “ritual” mandi pagi, berangkat sekolah, belajar di sekolah, pulang sekolah, belajar dan mengerjakan PR sepulang sekolah atau di malam hari, begitu seterusnya. Saya rajin belajar, karena saya dituntut untuk mendapatkan nilai-nilai yang bagus setiap kali ujian dan penerimaan rapor. Nilai-nilai dan ranking yang bagus tersebut akan membuat bapak dan ibu bangga. Setidaknya, mereka dapat bercerita tentang prestasi anaknya dengan sumringah saat bertemu keluarga atau ngobrol dengan tetangga.
Oiya, selama itu pula orangtua dan saya sendiri meyakini, kalau anak pintar itu yang nilai-nilai akademiknya bagus di semua mata pelajaran. Kalau ada nilai di rapor yang menunjukkan angka 6 (enam), bapak akan bilang, “Ayo, ditingkatkan lagi belajarnya untuk mata pelajaran ini. Supaya besok nilainya lebih bagus dari 6.” Atau, “Wah, kamu lemah di mata pelajaran ini. Ayo, belajar yang lebih rajin lagi untuk mata pelajaran ini.” Untungnya saya enggak pernah dapet nilai di bawah 6 alias nilai merah (iya, ditulis dengan tinta pulpen berwarna merah). Kalau misalnya dapet nilai merah, bapak-ibu saya pasti akan sangat malu. Soalnya setiap habis terima rapor bapak-ibu dan tetangga juga saudara-saudara hampir pasti saling bertanya rapor anak-anaknya.
Lalu, setelah mendapatkan nilai-nilai yang bagus hampir di semua mata pelajaran tersebut, apakah saya dengan mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah bertahun kemudian? Ah, sayangnya saya tidak menikmati hal tersebut. Malah, teman-teman saya yang dulu di sekolah tidak seberapa pintar banyak yang sukses dalam pekerjaannya. Dari kenyataan itu saya hanya berpikir, nasib dan keberuntungan setiap orang memang berbeda-beda.
Jauh hari setelah itu saya baru sadar, bahwa bukan itu poinnya. Saya baru memahami bahwa nilai-nilai akademik saja tidak cukup untuk mengantarkan seseorang pada kesuksesan di dunia kerja bahkan juga kesuksesan kehidupan seutuhnya. Masih banyak hal lain yang menjadi faktor penentu. Kecerdasan emosi, spiritual, sosial, sangat berperan dalam kehidupan seseorang.
Bertolak dari pengalaman saya bersekolah hingga kenyataan yang saya hadapi tersebut, saya menjadi sedikit paranoid dengan yang namanya sekolah. Sehingga ketika saya mempunyai anak, dan dia mulai mengenyam pendidikan sekolah (meski saat ini masih pra-sekolah atau di TK) saya TIDAK DAN TIDAK AKAN PERNAH menuntut anak-anak saya untuk berprestasi secara akademik di sekolah. Saya menganggap sekolah tidak begitu penting jika hanya untuk mengejar nilai-nilai yang bagus. Saya menyekolahkan anak karena ingin mereka punya pergaulan yang luas, bisa bersosialisasi dengan baik, mendapat pendidikan akhlak/etika yang baik, dan berkarakter. Saya tak akan peduli dengan nilai-nilai akademik, karena nilai-nilai akademik yang bagus pada kenyataannya tak mengantarkan saya menjadi orang yang sukses di dunia kerja!
Bukan Sekolah, Tapi Belajar
Saya senang sekali saat menghadiri sebuah seminar yang diadakan oleh Yayasan sekolah anak saya beberapa waktu yang lalu. Saat itu seminar menghadirkan seorang praktisi pendidikan yang sudah berpengalaman. Namanya bapak Daniel M. Rosyid. Beliau ini adalah seorang Guru Besar ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur.
Dalam seminar tersebut beliau menjelaskan tentang esensi pendidikan. Bahwasanya pendidikan itu intinya adalah learning (belajar) bukan schooling (sekolah). Sekolah hanya sarana atau tempat untuk belajar. Sedangkan satuan pendidikan yang utama adalah KELUARGA. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat juga menjadi tempat belajar bagi siswa.
Pada intinya belajar bisa di mana dan dari mana saja, bukan semata dalam bangunan-bangunan sekolah. Selama ini telah menjadi pemakluman bersama, belajar yang "resmi" itu ya di sekolah. Kalau ada anak enggak sekolah berarti anak tersebut bodoh, karena enggak mengenyam pendidikan. Padahal, kembali lagi, pendikan adalah learning, bukan schooling.
Dalam seminar tersebut beliau menjelaskan tentang esensi pendidikan. Bahwasanya pendidikan itu intinya adalah learning (belajar) bukan schooling (sekolah). Sekolah hanya sarana atau tempat untuk belajar. Sedangkan satuan pendidikan yang utama adalah KELUARGA. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat juga menjadi tempat belajar bagi siswa.
Pada intinya belajar bisa di mana dan dari mana saja, bukan semata dalam bangunan-bangunan sekolah. Selama ini telah menjadi pemakluman bersama, belajar yang "resmi" itu ya di sekolah. Kalau ada anak enggak sekolah berarti anak tersebut bodoh, karena enggak mengenyam pendidikan. Padahal, kembali lagi, pendikan adalah learning, bukan schooling.
Keluarga adalah Tempat Belajar yang Utama
Peran keluarga sangat penting dalam proses belajar. Penanaman nilai-nilai etika, akhlak, dan pendidikan karakter adalah tugas utama orangtua, karena dari merekalah anak mengambil teladan.
Sehingga di sekolah, anak cukup mendapat materi pelajaran umum, dan berdiskusi. Pengembangan materi bisa dilakukan di luar sekolah. Apalagi sekarang adalah zaman digital. Internet telah menyediakan banyak materi pendidikan yang diperlukan siswa.
Sehingga di sekolah, anak cukup mendapat materi pelajaran umum, dan berdiskusi. Pengembangan materi bisa dilakukan di luar sekolah. Apalagi sekarang adalah zaman digital. Internet telah menyediakan banyak materi pendidikan yang diperlukan siswa.
Lalu jika demikian, buat apa jam sekolah dibuat begitu lama? Dari pagi hingga sore anak di sekolah? Setengah hari untuk belajar mata pelajaran umum, lalu sisanya untuk ekstrakurikuler sebagai sarana pendidikan karakter? Padahal, praktik dari pendidikan karakter adalah dalam keluarga dan masyarakat umum, bukan hanya berbaur dengan teman-teman sebaya dan para guru. Bagaimana adab dengan tetangga, bagaimana bergaul dengan orang yang lebih tua, bagaimana menghargai profesi seperti tukang becak, bagaimana menerapkan nilai-nilai kejujuran, keberanian, tanggung jawab, dan lain-lain.
Satuan pendidikan yang utama adalah keluarga. Keluarga adalah tempat belajar yang pertama dan utama. Maka anak harus lebih dekat dengan keluarga dan keluarga memberikan pendidikan yang baik untuk anak. Terutama ibu, harus menjalin kedekatan yang terus-menerus dengan anak. Bukan masalah working mom atau stay at home mom, jika berusaha saya yakin semua ibu bisa membangun kedekatan dengan anak-anaknya dengan caranya masing-masing. Jika ibu adalah working mom, anak sekolah setengah hari bukanlah masalah jika pendidikan dalam keluarga telah terbangun dengan baik. Insya Allah anak tidak berbuat negatif jika landasan akhlaknya telah dibangun dengan kuat.
Full Day School
Ya, sebenarnya postingan ini adalah tanggapan dari tulisan mak Yuniari Nukti tentang kontroversi wacana Full Day School (FDS) yang digulirkan Mendikbud RI yang baru bapak Muhadjir Effendy, yang diposting di web Kumpulan Emak Blogger. Dengan uraian saya yang ngalor-ngidul di atas, tentu saja saya tidak setuju jika FDS diterapkan untuk semua sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia.
Karena, toh, pendidikan intinya bukan sekolah, tapi belajar. Jadi, buat apa belajar berlama-lama di sekolah? Saya sendiri khawatir anak saya akan bosan, jenuh dan capek jika sekolahnya full day. Jadi saya rasa yang membutuhkan FDS silakan, yang tidak setuju seperti saya, ya, monggo. Karena dana untuk proyek itu saya pikir juga akan sangat besar, dan apakah semua sekolah mampu? Selain dana, banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti kesiapan SDM (pengajar dan perangkat sekolah lain), kesiapan orang tua, dan lain-lain. Ah, sudahlah, ini hanya opini saya pribadi, yang mengacu pada pemikiran bapak Daniel M. Rosyid. Bagaimana pendapat teman-teman? :)
Karena, toh, pendidikan intinya bukan sekolah, tapi belajar. Jadi, buat apa belajar berlama-lama di sekolah? Saya sendiri khawatir anak saya akan bosan, jenuh dan capek jika sekolahnya full day. Jadi saya rasa yang membutuhkan FDS silakan, yang tidak setuju seperti saya, ya, monggo. Karena dana untuk proyek itu saya pikir juga akan sangat besar, dan apakah semua sekolah mampu? Selain dana, banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti kesiapan SDM (pengajar dan perangkat sekolah lain), kesiapan orang tua, dan lain-lain. Ah, sudahlah, ini hanya opini saya pribadi, yang mengacu pada pemikiran bapak Daniel M. Rosyid. Bagaimana pendapat teman-teman? :)
kembali lagi ke pribadi masing-masing yah Mbak, klo saya setuju FDS yah karena merasa lebih aman anak berada di sekolah saat kami orang tua nya masih berada di tempat kerja masing-masing :)
ReplyDeletesemoga FDS benar2 menyenangkan semua pihak, seperti yg dijanjikan oleh Bapak Menteri :)
Belum bisa banyak komentar ttg wacana FDS krn anak-anakku belum ada yg sekolah. Tapi aku setuju di poin keluarga adalah tempat belajar yang utama. Nice post, Mak :)
ReplyDeletesepakat sama poin "nilai akademik yang tinggi tidak selalu mengantarkan seseorang sukses di dunia kerja"
ReplyDeletesaya malah pengen anak-anak saya homeshcooling aja Mba.. tapi masih belum pede :(
ReplyDeleteSama kita mak, pengen segera resign supaya bisa didik anak baek2 di rumah. Pengen coba hs juga ut anak pertama
DeleteSetuju ama poin2nya... sekolah itu hanya sarana, yg penting ada tidak yg kita pelajari dari situ.. temen2ku yg dulu nuakalnya minta ampun mbak, nilai slalu jelek, dapat ranking boro2, tp malah kbnayakan yg begitu yg skr ini sukses :).. Jadi kebukti kok kalo nilai akademis itu bukan segalanya :).. makanya aku g mau nanti maksain anakku utk nguasain semua pelajaran... toh ga semua hal2 itu kepake kan :D... aku lbh mlih dia fokus dan berprestasi di 1 bidang, drpd banyak hal tpi semuanya so-so..
ReplyDeleteyes, angka itu hanyalah angka yang penting anak belajar ilmunya. Aku selau menekankan ke anak belajar itu lebih penting daripada angka, angka itu bonus dari kamu belajar. belajar kamau dapat ilmu . Dan aku juga tak memaksakan anak kalau memang dia berat sama satu pelajaran. karena anak-anak punay kemampuan yang berbeda
ReplyDeleteIya nilai akademis bukan segalanya, yang penting gmn caranya anak2 belajar membuat keputusan dan bersosialisasi ketika sekolah.
ReplyDeleteTFS Mbak :)
sampai sekarang saya tetap tak memaksa anak belajar.. alhamdulillah nilai sekolah malah tambah baik. dibanding saya paksa paksa belajar yang ada belajar cemberut ujung ujungnya ngambek..
ReplyDeleteFDS, so far aku sih setuju2 aja mbk, asal, kudu dipikirin mateng2 dan disiapin sgla sesuatunya, dan ada bnyak poin yg menrutku kudu disiapin, trutma utk sekolah2 di daerah2, kalau kota2 besar oke2 aja ya. jgn stngah2 deh pokoknya, kalau stngah2 mending gk usahh deh.
ReplyDeleteJadi ingat dulu, SD dan SMP belajarnya masih disuruh-suruh, nilai so-so. SMA udah dibebasin, jd belajar juga suka-suka, nurutin mood saya aja. Ehh.. nilai-nilai malah bagus. Nilai memang tidak menjamin, tapi secara tidak langsung kita seperti punya beban moral untuk menyenangkan orang tua dengan capaian angka yang baik dan ranking di kelas..
ReplyDeleteSetuju, Mbak. FDS memang sebaiknya tidak hanya bicara durasi. Ketika anak saya SD durasi jam belajarnya lebih panjang. Tapi suasana sekolah termasuk kegiatan belajar-mengajarnya sangat menyenangkan. Tentu aja semua bisa seperti itu karena dilengkapi denan berbagai fasilitas, kemampuan pengajar memahami karakter anak, rasio murid, dan lain sebagainya.
ReplyDeleteTapi kalau bicara sekolah negeri, PRnya masih banyak banget, deh. Masih jauh kalau mau mewujudkan FDS
Suka dengan poin: keluarga adalah tempat belajar utama...
ReplyDelete