Alya Fauzia |
Hari masih petang, sekitar pukul 19.00. Perutku terasa mulas-mulas lagi. Aku masih bertanya-tanya, mungkin gak, sih, ini masih kontraksi Braxton Hicks atau kontraksi palsu? Soalnya sehari sebelumnya sempat seperti itu. Aku menunggu perkembangannya. Tapi, dari waktu ke waktu kontraksi itu terus berlanjut.
Kontraksi itu berulang secara teratur hampir setiap jam, bahkan kadang tak sampai sejam berulang kembali. Aku katakan pada suamiku: kayaknya ini sudah waktunya.
“Diantar sekarang?” tanyanya.
“Ah, enggak usah. Coba aku tahan dulu. Mungkin besok habis sholat Shubuh.”
Aku beranjak ke tempat tidur, menemani putri cantikku, si nomer dua yang sudah tertidur pulas. Kucoba menikmati tidurku, mengulur waktu hingga shubuh esok. Ah, tapi kontraksi itu terus-menerus datang menghampiri. Aku semakin yakin, ini bukan Braxton Hicks. Inilah waktunya!
Kualihkan rasa sakitku dengan mengemasi barang-barang yang harus kubawa untuk persalinanku esok hari. Baju buat si kecil, perlengkapan mandinya, bajuku sendiri, kain-kain untuk bersalin, KTP, kartu ATM, kartu BPJS, hape, charger, enggak ketinggalan snack. Semua sudah kusiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Malam ini tinggal kumasuk-masukkan saja ke dalam dua tas yang tak begitu besar.
Aku tak bisa tidur. Tiap kali perutku terasa kencang, rasa sakit pasti juga mengikuti. Dan aku semakin tak bisa memejamkan mata. Pukul 22.00, kuminta suamiku bangun, ikut begadang entah sampai jam berapa. Tapi aku tak tega, dia kecapekan kerja siang tadi. Jadi, tak sampai sejam kusuruh dia tidur lagi. Cukup menemaniku dalam keadaan mata tertutup pun tak masalah. Sedangkan aku tetap terjaga sambil membuka-buka sosmed di hape.
Tapi dia pun tak tega dengan keadaanku.
Katanya lagi,
“Diantar sekarang?”
“Diantar sekarang?”
“Ah, aku masih bisa bertahan. Aku tak mau merepotkan bu bidan di tengah malam seperti ini.”
Apalagi, sekarang masih dalam suasana lebaran. Iya, ini hari ketiga lebaran. Mungkin bu bidan juga masih capek habis terima tamu-tamunya.
Rasanya jarum jam berputar begitu lama. Kucoba menikmati rasa perut yang seperti diremas-remas dan dipelintir itu. Pukul 03.30 dini hari, aku mulai bersiap-siap. Aku mandi. Aku pernah dengar kalau mandi bisa meringankan sakit saat kontraksi. Memang benar. Saat mandi, rasa sakit itu sedikit berkurang. Jadi, aku lama-lamakan saja mandinya.
Azan Shubuh berkumandang. Aku shalat bersama suami. Setelah itu, aku telpon bu bidan kesayanganku (iya, dia bidan yang murah bertutur kata, memberikan informasi, masukan, nasehat, meski tanpa kuminta) untuk meminta tolong mengantarkan ku ke Rumah Sakit. Duh, sayang, dia sedang dinas malam di klinik barunya. Dia tak bisa mengantarku ke Rumah Sakit yang kupilih seperti saat persalinan anak keduaku dulu. Bagaimana ini?
Suami pun menelpon temannya untuk meminta tolong mengantarkan kami ke Rumah Sakit dengan mobilnya. Masih dalam suasana lebaran, masih shubuh, dan kami mengganggunya. Tapi dia bersedia membantu kami. Sungguh, betapa baiknya dia. Alhamdulillah.
Pukul 05.00 lebih beberapa menit, kami berangkat ke Rumah Sakit. Aku, ibuku, dan dua anakku numpang di mobil teman suami. Sedangkan suami naik sepeda motor. Di rumah hanya ada bapak yang jaga rumah. Pukul 05.30 kami sampai di Rumah Sakit. Suster langsung menyambutku.
“Pasiennya mbak Eva, ya?”
“Iya,” jawabku.
Ternyata bu bidan kesayanganku sudah menelpon pihak Rumah Sakit ini untuk menerima kedatanganku.
Aku memang mencari Rumah Sakit yang pro melahirkan normal. Karena aku pernah melahirkan dengan jalan operasi caesar saat persalinan anak pertama. Dengan riwayat seperti itu bidan tak berani menangani proses persalinanku. Padahal, aku sangat ingin menjalani persalinan normal, sama seperti persalinan anak keduaku. Jadi, aku pilih Rumah Sakit ini.
Dulu, bidanku bekerja di sini. Dari dialah aku mendapatkan info bahwa Rumah Sakit ini biasanya mengusahakan persalinan secara normal semaksimal mungkin. Di sini juga pro ASI. Jadi tak ada susu formula yang disediakan untuk berjaga-jaga kalau bayinya enggak mau ng-ASI. Pokoknya harus diusahakan bayi mendapat ASI sejak lahir.
Aku segera diperiksa. Ternyata feelingku sejak tadi malam benar, kira-kira aku sudah mendekati saat persalinan. Karena, kan, kontraksinya sudah sejak Isya’ tadi malam?
“Alhamdulillah, sudah bukaan lima, Bu. Semoga cepat lahir, ya,” ucap suster sambil menyunggingkan senyumnya.
‘Kuikat’ suamiku di sisi ranjang. Aku mau dia menemaniku selama proses persalinan ini. Ah, tak perlu kuikat pun dia sudah dengan sukarela menemaniku. Suster sempat melarangnya masuk ruangan, tapi ternyata dokter “membolehkan”.
(Kenapa harus ada tanda petik?? Baca selanjutnya, ya :) ).
Kontraksi semakin hebat. Kupegang erat tangan suamiku. Rasanya mau lari, tapi ke mana? Rasanya ingin lepas dari rasa sakit itu, tapi bagaimana? Di sela-sela kontraksi aku masih makan sarapan dan snack, untuk bekal tenagaku saat mengejan nanti.
“Byarrrr….”
Kurasakan ada air dalam volume yang banyak keluar dari jalan lahir, lalu membasahi kedua kakiku. Air ketuban telah pecah! Bersamaan dengan itu, rasa sakit yang luar biasa menghampiriku. Hanya dzikir, istighfar, yang bisa kuucapkan. Kusuruh suami memanggil suster. Suster kembali melakukan pemeriksaan dari jalan lahir.
Sembari tersenyum simpul dan setengah berteriak pada rekan kerjanya, suster itu berujar, “Sudah lengkap bukaannya!”
Senyum simpulnya itu terasa pahit bagiku. Dia tersenyum kegirangan di atas rasa sakitku. Ya, tampaknya pekerjaannya tak akan bertele-tele kali ini. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan melahirkan bayiku. Sepertinya itu yang ada di pikirannya.
“Alhamdulillah,” tapi tetap kalimat ini yang kuucap. Perjuangan tinggal sebentar lagi, insya Allah.
Dokter segera datang. Bersama suster yang tadi dan satu suster lainnya, dia membantu proses persalinanku. Aku diinstruksikan untuk mengejan, mengambil dan mengeluarkan nafas, mengejan lagi. Tapi tampaknya si kecil belum bisa terdorong keluar. Dan aku sudah lumayan kecapekan.
“Pak, tolong belikan teh hangat untuk istrinya, ya. Untuk menambah tenaganya,” kata dokter pada suamiku.
Ah, padahal aku ingin dia selalu menemaniku.
Aku kembali mengejan, dan mengejan.
“Nah… sudah tampak kepalanya, Bu. Ayo mengejan lebih keras lagi… Atur nafasnya...,” seru suster dan dokter bergantian.
Kuambil nafas panjang, lalu kukerahkan tenagaku sebaik mungkin untuk mendorong bayi kecilku ke luar rahim.
“Alhamdulillah….. Allahu Akbar... Allahu Akbar...” bayi mungilku sudah keluar dari rahimku. Dia telah terlahir ke dunia! Allahu Akbar!
“Anaknya perempuan, Bu.”
“Sehat, kan, Sus?”
“Sehat.”
“Alhamdulillah.”
Suster segera membereskan proses persalinanku, dan memandikan bayiku. Lalu suamiku datang.
”Alhamdulillah… cepet banget… baru ditinggal beli teh sebentar, eh, udah lahir,” ucapnya.
Ya, proses persalinannya terbilang cepat. Enggak sampai satu jam di Rumah Sakit, si kecil sudah terlahir.
Ah, ya, sepertinya dokter tadi menyuruh suami keluar ruangan secara halus, dengan menyuruhnya beli teh hangat. Hahaha… ya sudahlah, tak apa-apa.
Baby Zia, 36 days. |
*****
Sekadar catatan ringan, untuk merekam proses kelahiran anak ketiga saya. Alhamdulillah, Allah SWT mengabulkan doa saya, saya melahirkan dengan jalan normal kembali, sama seperti persalinan anak kedua.
Tanggal 08 Juli 2016 (hari ketiga Idul Fitri 1437 H), pukul 06.25, anak ketiga saya lahir dengan jalan normal. Anak perempuan cantik dengan BB lahir 3200 gram dan TB 49 cm, yang kini bernama Alya Fauzia Izzatunnisa.
selamat mbk diaaaahhhhh,
ReplyDeleteah smoga nnti aku bs ngelahirin normal,
itu komennya pak suami lucu mbk, "baru ditinggal beli teh sebentar, eee, udah lahir" . :)
selamat mbaak :D
ReplyDeletelucu babynyaa ^^
proses lahirnya cepat yah Mba Diah, alhamdulillah :)
ReplyDeleteselamat datang di dunia ini sayang, sehat selalu, semoga kelak menjadi anak yang sholehah dan membanggakan orang tua, amin.. :* :*
Salut sama ibu2 yang berjuang melahirkan, mba. Benar2 demi anak a mba
ReplyDeleteSmoga anaknya sehat selalu mbaa
Selamaaat ya Mbaak.Sudah ngeri aja katanya anak ketiga sakit pas lahirinya.Alhamdulilah Mbak Diah dipermudah ya.
ReplyDeleteSelamat ya mba atas kelahiran anak ketiganya, saya udah punya 2 anak dan sudah tutup pabrik pula hehe
ReplyDeleteselamat mbaaa...alhamdulillah semua lancar :)
ReplyDeleteBarakallah, mbak... Jadi inget pas lahiran dulu. Entah kenapa rasa sakit melahirksn selalu lupa dalam ingatanku :D
ReplyDeleteWelcome to the world baby alya... salut sama mba diah..
ReplyDeletealhamdulillah selamat mbaaa...
ReplyDeletecepat prosesnya ya mbak...alhamdulillah...sayang nggak ditunggui misua hehehe
ReplyDeleteAlhamdulillah,selamat ya mbaa.. wah cpt banget mba. Jadi yg ketiga seperti yg kedua ya mba lahiran normal. Aku mau ngerasa yg cpt hihiii.moga Alya mnjadi anak sholehah bahagia dunia dan akhirat nya ya mba amiin
ReplyDeleteAlhamdulillah semua lancar. Mengaminkan doa-doa yang lain.
ReplyDeleteAlhamdulillah senengnya baca persalinan normal alami dan cepat kayak gini, semoga persalinan saya nanti berjalan lancar aamiin, tfs ya Mak
ReplyDelete