Beberapa hari yang lalu anak tetangga saya sakit hingga harus diopname. Bayi 8 bulan (seusia anak saya, Zia) tersebut terkena muntaber yang menyebabkannya dehidrasi. Bersama ibu, ayah, dan neneknya, saat dini hari bayi cantik itu dilarikan ke rumah sakit, setelah Puskesmas dekat rumah kami merujuknya ke sana. Sedih sekali menyaksikannya.
Entah apa sebabnya, yang jelas sebelumnya muntah-muntah dan sering BAB. Sempat berobat ke dokter tapi hasilnya nihil. Malah saat malam hari sebelum dilarikan ke rumah sakit, si kecil mengalami kejang-kejang. Dehidrasi parah tampaknya.
Ayah-ibu Sisi (si bayi, bukan nama sebenarnya) adalah pegawai kantoran semua. Sehingga setiap harinya Sisi dirawat oleh neneknya. Selama sekitar dua minggu diopname di rumah sakit (RS) pun, neneknya yang selalu menemani Sisi di RS. Ibunya kadang pulang. Bahkan sebelum Sisi selesai opname, ibunya sudah mulai bekerja kembali (setelah izin libur beberapa hari).
Mungkin karena naluri seorang ibu, saya sempet enggak bisa tidur akibat ikut memikirkan Sisi. Bagaimana jika saya ada di posisi itu, posisi ibu yang anaknya diopname sampai dua mingguan. Di ruang ICU hingga seminggu lebih. Beberapa kali mengalami masa kritis. Satu ruangan dengan pasien-pasien kritis lainnya. Bahkan beberapa dari mereka akhirnya meninggal dunia. Ya Allah... innalillahi wa innailaihi rojiun...
Saya dan suami sempat gemes dengan ibunya Sisi. Anaknya masih diopname, kok, ditinggal kerja? Apa bisa konsentrasi pas lagi kerja? Iya kalau bapaknya, harus kerja karena agar tak sampai di-PHK gara-gara kelamaan libur jaga anak sakit. Kalau ibu, kan, sudah kewajibannya jaga anak. Seandainya keluar dari pekerjaannya yang sekarang, toh, bisa cari lagi pekerjaan lainnya nanti. Yang penting suami tetap bekerja. Emm... Apalagi anaknya sedang diopname seperti itu. Apa enggak kasihan sama ibunya (neneknya Sisi) yang tiap hari harus tidur di RS??
Dan segudang lagi pertanyaan dalam benak kami, mengapa dan mengapa.
Dan segudang lagi pertanyaan dalam benak kami, mengapa dan mengapa.
Hemm... beberapa waktu kami sibuk berdiskusi sendiri. Hingga saat saya menjenguk Sisi, saya sempat menanyakan pada neneknya, mengapa ibunya Sisi enggak rehat dulu dari pekerjaannya dan mengurus anaknya. Lalu apa jawaban beliau? Katanya, "Enggak mudah, Mbak, kalau nanti cari pekerjaan yang seperti itu lagi. Posisinya sudah bagus."
Jujur, saya enggak menyangka kalau beliau akan menjawab seperti itu. Sejenak saya termangu. Dan perlahan saya menyadari, bahwa saya kembali melakukan kesalahan yang bahkan telah berulang kali saya lakukan. Ya, saya dan suami sibuk menilai orang lain, sibuk berprasangka. Padahal....
Dari introspeksi diri, saya menyimpulkan bahwa sebelum berprasangka, sebaiknya pikirkan dulu hal-hal berikut ini:
Segala sesuatu pasti ada plus minusnya.
Ingat, segala sesuatu pasti ada baik dan buruknya, plus-minusnya, sisi positif dan negatifnya. Demikian juga seseorang. Mungkin di satu sisi dia ada keburukannya, tapi di sisi lain, pasti banyak pula kebaikannya. Maka tak perlu lah kita berprasangka buruk pada orang lain. Karena kita enggak tahu siapa mereka seutuhnya. Ada banyak kebaikan-kebaikannya yang mungkin kita enggak tahu.
Biasanya, keburukan seseorang lebih mudah tampak daripada kebaikannya. Apalagi jika di pikiran kita telah tertanam hal-hal negatif, maka yang baik sulit tampak. Astaghfirullah...
Biasanya, keburukan seseorang lebih mudah tampak daripada kebaikannya. Apalagi jika di pikiran kita telah tertanam hal-hal negatif, maka yang baik sulit tampak. Astaghfirullah...
Apa yang baik baik kita, belum tentu baik bagi mereka.
Seperti cerita saya di atas, apa yang saya pikir baik, ternyata tidak menurut orang lain. Karena kondisi tiap orang berbeda-beda, kebutuhannya pun tidaklah sama. Bahkan seringkali alasan mereka melakukan sesuatu, sama sekali tidak terpikirkan oleh kita. Ternyata yang mereka lakukan juga untuk alasan kebaikan yang lain, yang tidak kita pikirkan.
Kadang yang tampak oleh kita, membuat kita berpikir A, B, C, dan seterusnya. Padahal sebenarnya, mereka punya alasan X, Y, atau Z yang kita tak bisa melihatnya.
Kalau kata orang Surabaya, gak usah umek (tidak usah sibuk) memikirkan apa yang sebaiknya mereka lakukan, karena mereka juga sudah punya alasan-alasan dan rencana-rencana tersendiri. Kadang, mereka saja nyantai, kenapa kita harus umek karepe dhewe? Hehehe.
Mungkin kita turut bersimpati, tapi, tapi jangan sampai rasa simpati itu berubah menjadi "ingin mengatur" kehidupan orang lain.
Kadang yang tampak oleh kita, membuat kita berpikir A, B, C, dan seterusnya. Padahal sebenarnya, mereka punya alasan X, Y, atau Z yang kita tak bisa melihatnya.
Kalau kata orang Surabaya, gak usah umek (tidak usah sibuk) memikirkan apa yang sebaiknya mereka lakukan, karena mereka juga sudah punya alasan-alasan dan rencana-rencana tersendiri. Kadang, mereka saja nyantai, kenapa kita harus umek karepe dhewe? Hehehe.
Mungkin kita turut bersimpati, tapi, tapi jangan sampai rasa simpati itu berubah menjadi "ingin mengatur" kehidupan orang lain.
Lihatlah dirimu! Apa yang bisa kamu berikan padanya?
Ya, daripada sibuk berprasangka, sebaiknya lihatlah diri kita sendiri. Apa yang bisa kita berikan pada mereka? Apakah kita telah berbuat sesuatu untuk membantunya? Atau hanya pandai menilai atas apa yang terlihat dari luarnya saja?
Lebih baik, ngobrol dengannya jika memungkinkan. Dari sana kita akan tahu bagaimana kondisi sebenarnya, alasan-alasan apa yang mendasarinya melakukan sesuatu. Sedikit "kepo" mungkin bisa dilakukan untuk menghilangkan prasangka buruk kita. Tapi jika memungkinkan saja, ya. Jangan sampai "kekepoan" kita justru membuat mereka sakit hati.
Selanjutnya, bantulah mereka jika kita bisa membantunya. Kalau enggak, doakan saja yang terbaik untuknya.
Lebih baik, ngobrol dengannya jika memungkinkan. Dari sana kita akan tahu bagaimana kondisi sebenarnya, alasan-alasan apa yang mendasarinya melakukan sesuatu. Sedikit "kepo" mungkin bisa dilakukan untuk menghilangkan prasangka buruk kita. Tapi jika memungkinkan saja, ya. Jangan sampai "kekepoan" kita justru membuat mereka sakit hati.
Selanjutnya, bantulah mereka jika kita bisa membantunya. Kalau enggak, doakan saja yang terbaik untuknya.
Nah, setelah memikirkan hal-hal tersebut di atas, insya Allah kita tak berani berprasangka macam-macam. Husnudhan saja, positive thinking. Bersimpati dan berempati memang sangat bagus, tapi sekali lagi, jangan sampai kita ikut mengatur kehidupan mereka. Kalau ingin memberi masukan, sebaiknya dipertimbangkan masak-masak, apakah pantas dan tidak menyinggung perasaan mereka?
Astaghfirullah... semoga kita semua (khususnya saya sendiri) senantiasa terhindar dari berbagai prasangka buruk. Karena Allah subhanahu wata'ala sendiri juga menyuruh kita untuk menjauhi prasangka. Seperti firman-Nya dalam QS. Al-Hujurat ayat 12:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Tulisan ini memang sebagai pengingat buat saya sendiri. Semoga next time, saya tak lagi berprasangka buruk terhadap orang lain. Oh ya, tulisan ini juga sekaligus untuk menanggapi artikel mak Nur Islah yang berjudul "Jangan Hanya Menilai yang Tampak oleh Mata" di web Kumpulan Emak Blogger.
Nah, kalau teman-teman bagaimana? Ada hal-hal lain yang perlu dipikirkan kembali sebelum kita "jatuh" dalam berprasangka (buruk)? Sharing, yuk! :)
Bagaimana kabarnya sisi mak?Semoga sudah sembuh, ikut sedih baca ceritanya
ReplyDeleteAlhamdullilah sudah berangsur membaik, Mak. Iya, kita sebagai seorang ibu pasti ikut merasa sedih ya denger yang beginian..
DeleteSetuju.. sblm berprasangka mgkn kita lbh baik menempatkan diri di posisi mereka ya mba. Dan cara org memutuskan pilihannya pun beda2.. mudah2an kita selalu berprasangka baik
ReplyDeleteNah, bener itu Mbak Ruli. Kalau kata orang Jawa, nepakne awake dhewe, mencoba menempatkan diri di posisi itu.
DeleteTapi memang kadang susah, ya. Apalagi kalau kita memang belum pernah ada di posisi seperti itu..
Jd inget kisahku sendiri, waktu itu aku suruh Dinas luar kota ke Cikarang sudah di buat anggarannya dan booking hotelnya sapa yg sangka anakku panas pas hari H aku mau dinas. Sbg ibu akhirnya aku sengaja ga jadi nginep pulang pergi CIkarang-bandung, sampe mlm bgt dirumah dan bergkt lg subuh demi anak. Tapi orang yg ga tau aku bulak balik gtu malah nyinyir aku tega sama anak sedih bgt dengernya, makanya dari situ aku belajar untuk mengerem memberikan label buat si A, B, C kita ga pernah tahu kondisi yg sebenarnya jgn lantas kasih kesimpulan a,b,c,d,e smg kita sll berprasangka yg baik :)
ReplyDeletekepanjangan y mba
Aku jg lg ngerem2 nih mbk, ngeremnya ya dg cara bercermin ke diri sendiri dlu,
ReplyDeleteNice share mbk, bahan renungan kece bwt malam ini
Mungkin kalau saya di posisi mbak Diah, saya juga berpikir yang sama. Kalau ngadepin situasi seperti itu, cuma bisa doakan yang terbaik dan membantu apa yang bisa. Makasih sharingnya, Mbak.
ReplyDelete"Ada banyak kebaikan-kebaikannya yang mungkin kita enggak tahu."
ReplyDeleteSaya pribadi sangat senang dengan kalimat ini.
Bagi saya ini sangat menginspirasi!
Thanks
Tepatnya sebelum bertindak berpikir terlebih dulu
ReplyDeleteLihat dirimu, apa yang bsia kau berikan padanya? MasyaaAllah, mak. SUka banget bagian ini. Daripada mencela, lebih baik mengulurkan bantuan, ya?
ReplyDelete