Anak kalau diatur terlalu ketat, terlalu kaku, terlalu disiplin, akibatnya bisa jadi dua macam: jadi berontak atau jadi pendiam (tertutup). Dulu pernah ngalamin, sih. Kakak berontak sama keadaan (tapi alhamdulillah masih di jalur positif). Sedangkan saya? Saya jadi anak pendiam, pemalu, enggak berani ambil resiko, enggak berani berkreativitas. Intinya saya mengalami krisis kepercayaan diri. Dan itu dampaknya sampai saya dewasa: jadi orang yang enggak pede-an.
Bukan bermaksud menyalahkan orang tua, sih. Saya yakin mereka juga bertujuan baik dalam mendidik anak-anaknya dengan cara seperti itu. Tapi, ketika sekarang saya sudah punya anak-anak (juga adik-adik yang dalam tanggung jawab suami), saya memilih cara yang berbeda. Saya dan suami lebih "lunak" terhadap anak-anak ataupun adik. Membiarkan mereka memilih apa yang disukainya, memberikan kebebasan berpendapat, agar mereka tak merasa dikekang.
Kalau kata suami, "melepas tapi memberikan tanggung jawab". Memberikan kebebasan tapi sekaligus memberikan tanggung jawab bagi mereka. Mereka bebas menentukan pilihan, tapi kami harus terus memonitor. Karena anak zaman sekarang berbeda dengan anak zaman dulu. Anak sekarang lebih kritis, lebih ekspresif dalam mengekspresikan keinginannya. Jika mereka dikekang, justru akan memberontak. Takutnya, akan mengambil jalan yang salah. Naudzubillahi min dzalik.
"Aku dulu gak kayak gitu! Apa-apa harus ada fasilitasnya, dikit-dikit minta ini-itu. Dikit-dikit ngeluh. Bla bla bla..." begitu omelan saya suatu ketika pada adik ipar. Dulu, saat dia masih di awal-awal kuliah.
"Dulu sama sekarang beda!"
Eh?! Untuk kesekian kalinya dia berani menjawab dan bahkan mendebat saya!
Adik ipar ini memang usianya beda jauh dengan saya. Bisa dikatakan dia masuk dalam generasi Y dan Z, karena lahir di tahun 1994. Termasuk remaja kekinian. Hemm... Awalnya saya marah sekali mendengar debatan-debatannya. Tapi seiring berjalannya waktu (dan saya punya 3 anak), saya sadar, dan mulai membenarkan bahwa tiap generasi memang punya zamannya sendiri-sendiri. Generasi sekarang beda dengan generasi dulu. Generasi Z beda dengan generasi Y atau bahkan generasi X. Beda. Beda banget. Yang sangat kentara perbedaannya, mereka lebih melek teknologi, lebih akrab dengan media sosial. Hingga "pelarian" masalah seringkali arahnya ke sana.
Dan, mau tidak mau kita harus mengikuti alurnya. Anak-anak remaja zaman sekarang yang kritis dalam proses menemukan identitas dan jati dirinya, kritis terhadap norma, pola asuh, atau mungkin labeling yang disematkan orang tua pada mereka. Ya, masa remaja memang masa yang penuh gejolak, enggak jarang mereka berontak pada nilai-nilai yang enggak selaras dengan pemikiran mereka.
Salah satu poster film My Generation. |
Film MY GENERATION
Problematika remaja ini jugalah yang diangkat oleh sutradara Upi dalam film terbarunya, MY GENERATION. Film yang menceritakan persahabatan antara empat anak SMU yaitu Suki (Lutesha), Orly (Alexandra Kosasie), Konji (Arya Vasco) dan Zeke (Bryan Langelo) ini menyuguhkan salah satu sisi persoalan remaja di era millenial sekarang ini. Film ini bukan tentang kisah cinta remaja, tetapi tentang 4 anak remaja yang berpikiran kritis menyuarakan pendapat mereka terkait problematika dengan orang-orang di sekitar.
Masing-masing tokoh tentu saja punya karakter dan masalah yang berbeda-beda. Khusus dalam cerita ini, masalah-masalah itu berkaitan dengan pola didik orang tua, sekolah, dan lingkungan yang mereka anggap kolot dan mengekang kebebasan berpendapat dan bertindak. Berikut gambaran ringkas tokoh-tokoh dalam film My Generation.
Persoalan krisis kepercayaan diri (proses menemukan identitas dan jati diri), kesetaraan gender, pubertas (gejolak remaja, pergaulan remaja, moralitas), hingga kritis terhadap norma, pola asuh, labeling yang disematkan orang tua, menjadi warna dalam film ini. Film produksi IFI Sinema ini juga didukung oleh aktor-aktor lawas sebagai pemeran para orang tua. Ada Tyo Pakusadewo, Ira Wibowo, Surya Saputra, Joko Anwar, Indah Kalalo, Karina Suwandhi, juga Aida Nurmala. Akting para aktor lawas diadu dengan akting para pemain muda pendatang baru, diharapkan akan menjadi suguhan yang lebih segar.
Masing-masing tokoh tentu saja punya karakter dan masalah yang berbeda-beda. Khusus dalam cerita ini, masalah-masalah itu berkaitan dengan pola didik orang tua, sekolah, dan lingkungan yang mereka anggap kolot dan mengekang kebebasan berpendapat dan bertindak. Berikut gambaran ringkas tokoh-tokoh dalam film My Generation.
Persoalan krisis kepercayaan diri (proses menemukan identitas dan jati diri), kesetaraan gender, pubertas (gejolak remaja, pergaulan remaja, moralitas), hingga kritis terhadap norma, pola asuh, labeling yang disematkan orang tua, menjadi warna dalam film ini. Film produksi IFI Sinema ini juga didukung oleh aktor-aktor lawas sebagai pemeran para orang tua. Ada Tyo Pakusadewo, Ira Wibowo, Surya Saputra, Joko Anwar, Indah Kalalo, Karina Suwandhi, juga Aida Nurmala. Akting para aktor lawas diadu dengan akting para pemain muda pendatang baru, diharapkan akan menjadi suguhan yang lebih segar.
Sebagian pemain film My Generation saat konferensi pers (10/10/2017). |
Opini Pribadi tentang MY GENERATION FILM
Setelah melihat teaser dan official trailer My Generation Film di Youtube, saya ada sedikit opini, nih:
🎥 Film ini menggambarkan salah satu sisi saja potret generasi Z di era millennial ini. Karena kalau saya lihat, kehidupan anak-anak itu potret dari golongan ekonomi atas. Main dengan mobil mewah, rumah dengan kolam renang yang bagus, kebiasaan clubbing, dan lain-lain. Terlihat sekali mereka adalah anak-anak "berada".
Pastinya generasi Z enggak semuanya kaya, enggak semuanya suka hura-hura. Saya yakin masih banyak remaja golongan menengah ke bawah yang kritis pada keadaan tapi bukan seperti dalam film ini cara melampiaskan "keterkekangannya".
🎥 Sebagai muslim, saya sangat tidak setuju dengan pergaulan bebas. Di film ini, tampak sekali pergaulan bebas itu. Campur cewek-cowok dalam kamar, gendong-gendongan, sampai renang bareng.
Tapi oh tapi, menurut sang sutradara itu memang realita yang terjadi pada remaja, khususnya di kota-kota besar. Kalau orang bilang, kids zaman now. Ya, mungkin sebagai penonton kita akan jadi tahu dan menjadi pengingat agar jangan sampai anak-anak kita seperti mereka.
🎥 Menurut saya film ini lebih cocok ditonton oleh para orang tua atau pendidik, yang tentunya lebih bisa mengambil pelajaran dari sikap-sikap tokoh yang kritis dan bagaimana pemecahan masalahnya.
Jika remaja yang menonton tanpa didampingi oleh orang dewasa, bisa saja mereka malah seperti mendapat "persetujuan" untuk melakukan tindakan-tindakan protes, memberontak, dan sejenisnya pada orang tua atau pendidik. Padahal, bentuk protes, kritik, atau mengekspresikan diri enggak selalu harus melalui sikap-sikap frontal seperti tergambar dalam salah satu scene film ini (mencoret-coret mobil, clubbing, teriak-teriak dari atas jembatan, dll).
Ya, kalau dilihat dari poster-posternya (enggak saya tampilkan di sini) dan trailernya, sih, agak "ngeri" gitu lihatnya. Banyak ditampilkan pakaian-pakaian minim juga gambaran pergaulan bebas. Tapi menurut mbak Upi, sang sutradara, film ini enggak mengajarkan pergaulan bebas, remaja nakal, atau sejenisnya gitu. Justru film ini ingin membuka mata kita semua bahwa ini loh, "kids zaman now" dengan segala problematikanya. Kita enggak bisa menutup mata, dan kita diharuskan open minded. Kita pun harus aware agar bisa membimbing anak-anak kita supaya terhindar dari hal-hal seperti itu.
Film My Generation ini diharapkan bakal memberikan insight baru agar antara ortu dan anak bisa saling memahami, saling mendengar, agar nantinya anak menjadi pribadi yang sayang dirinya sendiri dan juga keluarganya. Nantikan filmnya di bioskop-bioskop seluruh Indonesia mulai 9 November 2017 nanti, ya.
Official Trailer MY GENERATION (2017)
Makin penasaran sama filmnya. Terutama para pemeran yang masih asing bagiku, seru sepertinya.. Semoga bisa nonton ini film..
ReplyDeleteDibuat tertawa dan menangis di film ini.
ReplyDelete