"Aku tadi diolok-olok sama temen-temenku..."
"Diolok-olok gimana?"
"Di-'wuwuwuuuuu....' gitu."
"Lha emangnya kamu ngapain?"
"Enggak ngapa-ngapain."
"Maksudnya, sebelum 'di-wuwuwuuu' itu Faiq lagi ngapain kok bisa disorakin gitu?"
"Haduh.... Enggak ngapa-ngapain, Miii...!"
Begitu cerita Faiq kemarin sore. Yang saya tangkap, sulung saya yang duduk di kelas 1 SD itu sedang merasa tidak nyaman dengan teman-temannya di sekolah. Sudah beberapa kali dia menceritakan hal yang serupa kepada saya. Tapi sayangnya, Faiq seringkali belum bisa (atau mungkin malas) menceritakan secara detail kejadian yang dialaminya. Atau, kadang saya harus "memancing" duluan,
"Tadi di sekolah ngapain aja? Tadi English-nya bikin cerita, ya? Faiq bisa gak? Mas A bisa gak? Kalau mas B?" dan seterusnya.
Dari "pancingan" saya itu baru kemudian dia ingat kejadian-kejadian di sekolah dan menceritakannya pada saya.
Dan, saya paling sedih jika mendapat aduan seperti percakapan di awal tulisan itu. Saya enggak kecewa kalau melihat nilai tugasnya di sekolah yang kurang bagus, tapi saya sedih sekali kalau sudah menyangkut kenyamanan dia di sekolah. Saya jadi bertanya-tanya, seperti apakah sebenarnya hubungan Faiq dengan teman-temannya? Apakah dia benar-benar merasa tidak nyaman di sekolah? Atau hanya perasaannya saja tapi sebenarnya hubungan dengan teman-temannya baik-baik saja?
Kadang, kalau saya sedang menjemputnya pulang sekolah, saya membiarkan dia bermain dulu dengan teman-temannya. Saya hanya ingin tahu, seperti apa interaksinya dengan teman-temannya. Dan sejauh ini, saya melihatnya selalu ceria bermain. Ketika saya tanyakan pada gurunya seperti apa Faiq di sekolah, gurunya menjawab Faiq biasa saja dengan teman-temannya. Bahkan sering bikin gaduh di kelas bersama yang lain. Intinya, Faiq bukan anak pendiam dan pemalu (seperti yang biasa tampak kalau berhadapan dengan orang dewasa) kalau sedang bermain dengan teman-temannya.
Saya lega. Tapi saya juga selalu waspada dengan cara mendengar setiap cerita Faiq dan berusaha intens menanyakan perkembangannya di sekolah kepada gurunya.
Credit from pexels.com. |
Sebagai orangtua zaman now yang semakin sering mendengar berita tentang kekerasan pada anak, kasus-kasus bullying di sekolah, penculikan, pedofil, jajanan berbahaya, narkoba, pornografi, dan lain-lain, saya dituntut untuk selalu waspada terhadap perkembangan anak di manapun berada. Ngeri kalau membaca berita bahwa kekerasan pada anak-anak di Indonesia sudah begitu mengkhawatirkan. Seperti pada momen Hari Anak Nasional tahun 2017 kemarin, Presiden Joko Widodo menetapkan Indonesia masuk darurat perlindungan anak.
Hal ini didasarkan pada data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang mencatat bahwa selama kurun waktu tahun 2012-2016, tercatat ada 23.858 kasus kekerasan anak, baik anak sebagai korbannya maupun sebagai pelakunya.* Hemm... mengerikan sekali, bukan, melihat jumlah yang sebanyak itu?
Bahkan kalau kita melihat kejadian-kejadian yang dekat dengan kita pun ada, bahkan banyak. Mulai dari anak yang sering dimarahi orangtuanya sendiri, bercanda sesama teman yang kebablasan di sekolah, hingga anak-anak yang terjerumus pada penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan lain-lain. Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri pengambilan raport Faiq sekaligus ada materi parenting yang diberikan. Di sana kami para orangtua disodori data-data, foto, hingga video kekerasan pada anak di kota kami, Sidoarjo.
Data-data itu membuka mata kami, bahwa di kota kecil sekalipun, pergaulan anak-anak zaman sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini antara lain akibat dari adanya kekerasan yang mereka terima baik dari orangtuanya sendiri, lingkungan sekitar, hingga lingkungan sekolah.
Sebagai orangtua, saya dan suami masih terus belajar membentengi anak-anak kami agar terhindar dari segala bentuk bullying tersebut. Dimulai dari kami sendiri. Bahwa memperlakukan anak-anak sesuai dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya adalah wajib kami terapkan secara seimbang. Kami selalu berusaha bersikap baik pada mereka, tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Walau pada kenyataannya, hal itu masih sangat sulit kami lakukan. Hal ini tentu saja karena anak-anak masih kecil, masih sulit dinasehati. Tak jarang, kesalahan yang sama terus diulang-ulang oleh anak-anak sehingga membuat kami marah. (Maafkan kami, ya, Nak 😢 ).
Sedangkan sebagai langkah antisipatif di luar rumah, kami selalu berusaha memberikan edukasi pada anak tentang bagaimana harus bersikap jika ada tanda-tanda bullying di dekatnya. Kami tunjukkan beberapa poster edukasi seperti di atas, atau video terkait pencegahan bullying pada anak. Kami lihat dan kami pelajari bersama. Sambil sesekali bercerita jika ada kasus serupa di sekitar. Kami lakukan hal itu berulang-ulang hingga mereka paham. Harapan kami, semoga ketika ada kasus kekerasan tersebut di dekat mereka, mereka ingat akan pesan-pesan yang saya sampaikan.
Saya juga tidak malas memforward informasi-informasi terkait bullying ini pada pihak-pihak yang saya kenal. Seperti di grup-grup WhatsApp (terutama yang ada hubungannya dengan aktivitas anak), atau di media sosial lain. Sebagai orangtua khususnya ibu, tentu saya sangat prihatin dan merasa ikut bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat terkait bullying pada anak, terutama upaya pencegahannya.
Menyikapi bullying menjadi pe-er tersendiri buat para orangtua. Saya, selalu waspada terhadap tanda-tanda munculnya hal itu pada anak-anak saya. Meski kasusnya masih terbilang kecil seperti pada cerita Faiq di awal tulisan ini, tapi saya berusaha memberikan edukasi pada anak bagaimana harus menyikapinya. Untuk kasus seperti di atas misalnya, saya berusaha tenang memberikan tanggapan, agar anak tidak ikut resah. Saya katakan bahwa hal itu wajar jika sedang bermain bersama teman. Namun jika dirinya merasa tidak nyaman, sampaikan pada teman-teman dengan berani, dan kembali bermain bersama tanpa mengolok-olok.
Nah, bagaimana dengan teman-teman terutama yang berstatus sebagai orangtua? Apa saja yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kekerasan pada anak? Sharing, yuk!
Hal ini didasarkan pada data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang mencatat bahwa selama kurun waktu tahun 2012-2016, tercatat ada 23.858 kasus kekerasan anak, baik anak sebagai korbannya maupun sebagai pelakunya.* Hemm... mengerikan sekali, bukan, melihat jumlah yang sebanyak itu?
Bahkan kalau kita melihat kejadian-kejadian yang dekat dengan kita pun ada, bahkan banyak. Mulai dari anak yang sering dimarahi orangtuanya sendiri, bercanda sesama teman yang kebablasan di sekolah, hingga anak-anak yang terjerumus pada penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan lain-lain. Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri pengambilan raport Faiq sekaligus ada materi parenting yang diberikan. Di sana kami para orangtua disodori data-data, foto, hingga video kekerasan pada anak di kota kami, Sidoarjo.
Data-data itu membuka mata kami, bahwa di kota kecil sekalipun, pergaulan anak-anak zaman sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini antara lain akibat dari adanya kekerasan yang mereka terima baik dari orangtuanya sendiri, lingkungan sekitar, hingga lingkungan sekolah.
Poster edukasi untuk menghindari kekerasan pada anak. |
Sebagai orangtua, saya dan suami masih terus belajar membentengi anak-anak kami agar terhindar dari segala bentuk bullying tersebut. Dimulai dari kami sendiri. Bahwa memperlakukan anak-anak sesuai dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya adalah wajib kami terapkan secara seimbang. Kami selalu berusaha bersikap baik pada mereka, tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Walau pada kenyataannya, hal itu masih sangat sulit kami lakukan. Hal ini tentu saja karena anak-anak masih kecil, masih sulit dinasehati. Tak jarang, kesalahan yang sama terus diulang-ulang oleh anak-anak sehingga membuat kami marah. (Maafkan kami, ya, Nak 😢 ).
Sedangkan sebagai langkah antisipatif di luar rumah, kami selalu berusaha memberikan edukasi pada anak tentang bagaimana harus bersikap jika ada tanda-tanda bullying di dekatnya. Kami tunjukkan beberapa poster edukasi seperti di atas, atau video terkait pencegahan bullying pada anak. Kami lihat dan kami pelajari bersama. Sambil sesekali bercerita jika ada kasus serupa di sekitar. Kami lakukan hal itu berulang-ulang hingga mereka paham. Harapan kami, semoga ketika ada kasus kekerasan tersebut di dekat mereka, mereka ingat akan pesan-pesan yang saya sampaikan.
Saya juga tidak malas memforward informasi-informasi terkait bullying ini pada pihak-pihak yang saya kenal. Seperti di grup-grup WhatsApp (terutama yang ada hubungannya dengan aktivitas anak), atau di media sosial lain. Sebagai orangtua khususnya ibu, tentu saya sangat prihatin dan merasa ikut bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat terkait bullying pada anak, terutama upaya pencegahannya.
Menyikapi bullying menjadi pe-er tersendiri buat para orangtua. Saya, selalu waspada terhadap tanda-tanda munculnya hal itu pada anak-anak saya. Meski kasusnya masih terbilang kecil seperti pada cerita Faiq di awal tulisan ini, tapi saya berusaha memberikan edukasi pada anak bagaimana harus menyikapinya. Untuk kasus seperti di atas misalnya, saya berusaha tenang memberikan tanggapan, agar anak tidak ikut resah. Saya katakan bahwa hal itu wajar jika sedang bermain bersama teman. Namun jika dirinya merasa tidak nyaman, sampaikan pada teman-teman dengan berani, dan kembali bermain bersama tanpa mengolok-olok.
Nah, bagaimana dengan teman-teman terutama yang berstatus sebagai orangtua? Apa saja yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kekerasan pada anak? Sharing, yuk!
* Sumber info:
https://news.okezone.com/read/2017/07/22/337/1742140/ini-3-ranking-teratas-kasus-kekerasan-anak-di-indonesia
https://news.okezone.com/read/2017/07/22/337/1742140/ini-3-ranking-teratas-kasus-kekerasan-anak-di-indonesia
No comments
Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.