Ngeri.. sungguh ngeri... jika kita melihat fenomena perlakuan siswa terhadap gurunya yang amoral akhir-akhir ini. Peristiwa siswa melawan gurunya, tampaknya sering kita lihat di beberapa tahun terakhir di Indonesia. Di Jawa ataupun luar Jawa, sepertinya kompak telah terjadi degradasi moral pada para peserta didik itu. Sungguh menyedihkan!
Kita semua mungkin tahu, berita tentang beberapa kasus siswa yang melawan gurunya. Peristiwa yang cukup heboh dan videonya menjadi viral di media sosial pada Februari 2019 kemarin misalnya, yaitu seorang siswa SMP (disaksikan oleh siswa-siswa lain) yang menghina bahkan melakukan perlawanan fisik kepada gurunya sendiri gara-gara ditegur saat sedang merokok. Siswa berani membantah nasihat gurunya bahkan tampak berusaha memukul kepala guru honorer tersebut. Peristiwa yang terjadi di Gresik Jawa Timur itu berakhir damai ditandai dengan permintaan maaf siswa kepada sang guru di depan pihak-pihak mediator (sekolah dan kepolisian).
Beberapa waktu sebelumnya, ada kasus seorang murid yang memukul gurunya gara-gara sang guru menegur murid saat dia tidak mendengarkan penjelasan guru di kelas. Bukannya memperhatikan pelajaran seni rupa yang diterangkan gurunya, dia malah usil mengganggu teman-temannya dan mencoret salah satu lukisan temannya. Lalu sang murid marah lantaran gurunya mencoret pipinya dengan cat air. Kasus di Sampang Madura itu berakhir dengan meninggalnya sang guru akibat pukulan keras murid kurang ajar itu di area lehernya. So sad ðŸ˜.
Ada pula kasus murid yang membacok gurunya di Tangerang, murid yang memukul gurunya di Makassar, dan masih banyak lagi.* Mengerikan sekali saya membacanya. Tampaknya degradasi moral benar-benar telah melanda para siswa di Indonesia.
Pentingnya Korelasi Pendidikan dan Moral
Saya masih menjadi bagian di era siswa yang begitu hormat kepada gurunya. Saat saya sekolah dulu, kami para siswa sangat menghormati para guru. Jika dinasihati guru, kami nurut. Jika dihukum, kami tidak melawan. Orangtua kami pun enggak protes jika anaknya dihukum gurunya. Dan memang, kami juga jarang sekali mengadu ke orangtua jika dihukum guru. Orangtua kami juga bercerita, dulu, di zaman mereka sekolah, guru sangat dihormati.Beda sekali keadaanya dengan sekarang. Hubungan antara siswa dan guru kadang terlampau akrab. Hingga kemudian ada sebagian siswa yang menyalahartikan kedekatan itu. Guru dianggap seperti teman sendiri, tidak ada batasan khusus yang seharusnya dipahami. Batasan untuk menghormati para pendidik itu. Lalu jika ada masalah diantara mereka, penyelesaiannya pun bagaikan antar teman. Guru dilawan, dihina, bahkan tanpa kompromi "dieksekusi" secara sepihak.
Dulu, ada mata pelajaran yang namanya "Pendidikan Moral Pancasila" atau disingkat PMP. Materinya memang sangat membosankan bagi sebagian besar murid. Bahasan tentang toleransi, tenggang rasa, saling menghormati, seingat saya selalu diulang-ulang. Soal-soal yang keluar saat ujian pun hanya "mengubek-ubek" seputar materi itu. Dari mulai pengertiannya hingga soal cerita. Sampai eneg! Hehe. Tapi tampaknya, dari materi-materi tentang moral Pancasila itu secara tidak langsung mempengaruhi tingkah laku para siswa. Mereka mengerti untuk menghormati orang-orang yang lebih tua. Kami para murid sadar bahwa orangtua dan guru adalah sosok-sosok yang harus dihormati.
Maka enggak heran jika kini, kami para generasi tua merasa kehilangan mata pelajaran PMP itu. Mata pelajaran yang kini berganti "judul" menjadi "Pendidikan Kewarganegaraan" itu tampaknya kurang mendalam membahas tentang moral. Ya, memang sesuai dengan namanya, sih. Materinya lebih menekankan tentang menjadi warganegara yang baik. Mungkin di sekolah yang berbasis agama (dalam hal ini Islam) ada mata pelajaran akhlak yang bisa menutup kekurangan itu. Saya kurang tahu bagaimana dengan sekolah negeri (mungkin ada penguatan karakter sebagai program sekolah?). Tapi yang jelas, korelasi antara pendidikan dan moral sesungguhnya sangat penting!
Baca juga: Mendidik Generasi Z dengan Good Attitude.
Belajar shalat berjamaah di sekolah, salah satu upaya membangun akhlak yang baik. |
Mengutip dari KBBI, bahwa korelasi berarti hubungan timbal balik atau sebab-akibat. Pendidikan hanya akan menghasilkan output yang "kosong" jika tanpa disertai dengan moral yang baik. Para siswa hanya akan menjadi insan-insan yang pandai secara akademik, tapi miskin kemampuan untuk menghormati orang lain, bertoleransi terhadap perbedaan, atau berempati terhadap masalah-masalah di sekitarnya. Maka dari itu perlu pendidikan moral. Jika PMP saat ini sudah tak ada, mungkin diperlukan mata pelajaran khusus yang bisa menggantikannya.
Karena sungguh, korelasi antara pendidikan dan moral sangat penting, sangat diperlukan. Terutama di era digital seperti saat ini, dimana berbagai pengaruh entah baik atau buruk bisa masuk ke dalam diri para siswa dari dunia maya. Ngobrol dengan kawan-kawan beda sekolah beda pulau, bisa dilakukan siswa melalui media sosial. Keberanian melawan guru, bisa saja terpengaruh oleh video-video yang mereka saksikan di internet. Mungkin mereka pikir, kawan-kawan di daerah sana berani melakukannya, mengapa di sini dia tidak bisa? Why not?
Mungkin.
Dengan materi pendidikan secara umum beserta pendidikan moral yang ada, diharapkan output yang tercipta adalah siswa-siswa yang terdidik dan beradab, yang punya good attitude. Cerdas akal dan hatinya. Sehingga kita bisa berharap kelak mempunyai generasi yang pandai dan beradab, yaitu yang mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang baik, dan berlaku sopan kepada siapapun.
Kerjasama Sekolah dengan Keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama tiap anak, tiap siswa. Keluarga adalah intinya inti, core of the core! (hehe.. mengambil istilahnya pak Ndul yang populer di YouTube itu, lho..). Maka masalah pendidikan moral adalah tanggung jawab keluarga disamping tanggung jawab sekolah. Kerjasama sekolah dengan keluarga para siswa semestinya adalah hubungan yang saling bersinergi. Saling mendukung, agar dapat menghasilkan siswa-siswa yang pandai secara akademis juga cerdas moralnya.Keluarga enggak bisa "pasrah bongkokan" pada sekolah, yaitu menyerahkan sepenuhnya anak-anak mereka ke sekolah. Melainkan harus bersinergi dengan sekolah. Di sekolah siswa berhak menerima pendidikan moral, di rumah peran keluarga juga dibutuhkan untuk melanjutkan pendidikan moral tersebut.
Baca juga: Penguatan Keluarga dalam Pendidikan di Abad Digital.
Kebersamaan dalam keluarga. |
Pendidikan moral enggak selalu monoton menekuri materi-materi di buku ajar. Justru yang paling penting adalah praktiknya. Dalam hal menghormati guru misalnya, orangtua siswa dapat mendidik anaknya bagaimana jika mereka bertemu gurunya di jalan, bagaimana cara menghormatinya. Atau bagaimana jika menyampaikan masalah terkait pelajaran di sekolah, bagaimana menyampaikan usulan, dan lain-lain.
Atau, barangkali dalam momen-momen tertentu (seperti kenaikan kelas atau Hari Guru) siswa dapat memberikan hadiah untuk gurunya? Yap, hadiah tersebut selain sebagai bentuk rasa hormat juga sebagai rasa sayang kepada guru. Hadiah bisa berupa apa saja yang penting bermanfaat. Orangtua bersama siswa bisa mencari dan membeli hadiah di iPrice sebagai salah satu portal belanja online terlengkap di Indonesia. Asyiknya, di iPrice ada fitur pembanding harga. Sehingga kita bisa berhemat uang dan waktu dalam berbelanja online.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mendidik anak-anak menjadi generasi yang bermoral dan beradab. Memang tidak mudah mewujudkannya di tengah berbagai gempuran pengaruh dari luar sana. Tapi semoga, dengan kerjasama antara sekolah dan keluarga, akan bisa mencetak siswa-siswa dan generasi masa depan yang cerdas intelektual dan beradab. Aamiin.
*Sumber:
http://makassar.tribunnews.com/2019/02/10/viral-siswa-melawan-guru-saat-ditegur-merokok-ini-3-kasus-penganiayaan-guru-yang-viral-di-indonesia
Entah kalo di kota saya Tasikmalaya yang ikut organisasi Alquds Volunteer Indonesia banyak yang menjadi baik terutama wanita (kebanyakan yang ikut wanita) Kebetulan keluarga saya kepsek dan guru terutama di salah satu sekolah MTs yang letaknya dekat rumah, mereka yang ikut AVI meninggalkan jejak baik.
ReplyDeletePernah ada juga saudara saya(guru sekolah tsb) yang bilang "ada perubahan memang"
Memang iya sih saya rasakan juga di Bengkulu ini juga anak SD itu sama gurunya juga santai banget tangannya taruh di pundak gurunya atau memanggil guru dengan cara seperti memanggil temen2nya. Kadang sampe ngelus dada gitu lah orang tuanya ngapain aja kok anaknya jadi begini. gak bisa salahkan sekolahan terus.
ReplyDelete