Sejak saya masih kecil, bapak saya merupakan seorang perokok aktif. Entah sehari habis berapa batang rokok, tapi yang jelas saya sering sekali melihatnya merokok. Pagi, siang, malam, hampir tak pernah absen dari aktivitas menghisap batang rokok. Kondisi ekonomi kami yang pas-pasan saat itu, tidak menghalangi bapak untuk terus merokok. Rokok seperti sudah kebutuhan dasar yang tak bisa dilewatkan.
Kebiasaan bapak merokok berlangsung hingga kami, anak-anaknya besar. Harga rokok yang naik sedikit demi sedikit tak mempengaruhi konsumsi bapak akan rokok. Hingga suatu ketika, rumah kami tak ada lagi puntung rokok. Bapak sudah berhenti merokok! Alhamdulillah. Apa sebabnya sehingga beliau bisa berhenti merokok? Apakah harga rokok saat itu melonjak tinggi? Apakah kondisi ekonomi keluarga kami sedang sangat terpuruk sehingga bapak tak mampu lagi membeli rokok?
Bukan. Bukan itu sebabnya. Beliau bisa berhenti total sebagai seorang perokok aktif karena beliau rajin mengaji. Ya, demi mendengar beberapa kali ceramah seorang ustadz yang menyatakan bahwa hukum merokok dalam Islam itu makruh bahkan bisa jadi haram, beliau takut. Sebagai seorang muslim beliau takut dosa. Lalu beliau langsung bisa berhenti merokok, hingga detik ini.
Keinsyafan bapak dari kebiasaan merokok tidak lantas membuat orang-orang dekatnya yang juga perokok aktif ikut berhenti merokok. Saudara, teman, tetangga, yang aktif merokok masih tetap merokok hingga sekarang. Memang, kebiasaan merokok tidak mudah untuk dihentikan. Butuh suatu "keajaiban" entah itu berupa sakit yang parah, kesadaran pribadi seperti yang terjadi pada bapak saya, atau entah apalagi.
Sumber gambar: pixabay.com |
Dan, dari melihat sekitar, harga rokok tidak menjadi soal bagi perokok. Mau mahal pun, rokok tetap laku. Toh, bagi orang yang kurang/enggak berduit, bisa membeli rokok ketengan atau batangan. Di warung-warung kecil banyak, kan, dijual rokok ketengan? Hehe.
Baca juga: Kebiasaan Bernapas Melalui Mulut.
Tahun 2020, Cukai Rokok Akan Naik 23 Persen
Beberapa hari yang lalu pemerintah mengumumkan akan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran rokok 35 persen pada tahun 2020 mendatang. Kenaikan ini akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2020. Dengan kenaikan sebesar itu, harga jual rokok akan berada pada kisaran 27 ribu rupiah per bungkus.
Keputusan pemerintah tersebut menjadi topik perbincangan di "Ruang Publik KBR", yaitu sebuah acara talkshow di KBR (Kantor Berita Radio) 68H. Acara yang dipandu penyiar Don Brady ini berlangsung pada tanggal 19 September 2019 kemarin. Menghadirkan dua narasumber yaitu Vid Adrison (Peneliti Ekonomi UI) dan lewat sambungan telepon ada Abdillah Ahsan (Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI), perbincangan seru yang mengambil judul "Cukai Rokok Naik, Lalu Apa?" itu berlangsung selama kurang lebih 42 menit.
Diawali dengan opini bapak Abdillah Ahsan bahwa, "Tahun 2019 cukai rokok tidak naik, artinya harga rokok juga tidak naik. Padahal harga-harga lain naik, pendapatan juga naik. Artinya konsumsi rokok juga naik." Maka keputusan pemerintah itu dimaksudkan untuk mengerem konsumsi rokok yang semakin naik di tahun ini.
Sehingga kita patut mengapresiasi atau menghargai keputusan pemerintah tersebut. Apalagi dalam pertimbangannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan ada tiga aspek dalam kebijakan cukai, yaitu pengendalian konsumsi dalam hal ini dimaksudkan kesehatan masyarakat, penerimaan negara, dan pengaturan industri. Setidaknya pemerintah memperhatikan aspek kesehatan masyarakat sebagai aspek utama.
Tapi, menurut Abdillah, dampak riilnya tergantung dari rincian kebijakan yang akan dikeluarkan, karena kenaikan cukai 23% itu adalah angka rata-rata (berkisar sekitar 18% hingga 35%). Kita akan lihat dulu nanti, kenaikan itu diterapkan pada rokok golongan mana saja?
Abdillah menyebutkan, bahwa cukai rokok dibagi menjadi 3 golongan, yaitu untuk kretek mesin, putih mesin, dan kretek tangan. Masing-masing ada golongannya lagi. Misal kretek mesin golongan 1 yang produksinya 3 milyar ke atas per tahun. Sehingga total ada 10 golongan cukai rokok.
"Jika kenaikan tarif cukai tertinggi dikenakan pada rokok yang pangsa pasarnya sedikit (yang enggak laku), dampak ke kesehatan masyarakat dan dampak penurunan konsumsi sangat minimal alias enggak ngefek," kata Abdillah.
Seharusnya tarif cukai tertinggi dikenakan pada rokok yang laku, yaitu kretek mesin (yang pangsa pasarnya 73%). Terutama untuk golongan satu, yang menguasai 63% penjualan dari semua kretek mesin.
Meski masih menunggu penerapan tarif cukai rokok di tahun depan, tapi Abdillah mengatakan bahwa, "Saya haqqul yakin kebijakan itu enggak akan ditarik kembali, walaupun tekanan dari industri rokok luar biasa di hari-hari ini."
Tembakau. (Sumber gambar: pixabay.com). |
Bagaimana Pemanfaatan Cukai Rokok Selama Ini?
Narasumber kedua yakni bapak Vid Adrison memberikan sedikit gambaran tentang apa itu cukai dan bagaimana cukai rokok di Indonesia. "Cukai itu tujuan utamanya adalah pengendalian konsumsi," kata Vid Adrison.Cukai dikenakan kepada orang yang mengonsumsi barang-barang tersebut. Tujuan utamanya untuk pengendalian konsumsi (orang-orang yang menggunakan barang yang kena cukai). Tujuan lain dari penerapan cukai adalah sebagai sumber penerimaan negara.
Bedanya cukai dengan pajak adalah, pemanfaatan dari bayar pajak enggak langsung kita nikmati. Enggak ada ikatan antara yang kita bayar dengan yang kita terima. Sedangkan cukai (seharusnya) manfaatnya diterima oleh para pengguna barang yang kena cukai.
Cukai rokok diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok. Jika tarif cukai rokok dinaikkan, otomatis harga rokok juga naik. Tapi, "Sebetulnya peningkatan cukai rokok saja tidak begitu efektif untuk meningkatkan kenaikan harga," Vid Adrison. Hal ini dikarenakan sistem cukai yang kompleks dan enggak ada harga minimum rokok.
Menyoal pemanfaatan cukai rokok, Don Bardy bertanya, selama ini cukai rokok untuk apa saja?
Menurut Vid Adrison, total penerimaan dari cukai didistribusikan untuk berbagai keperluan. Jadi dalam pengelolaan cukai, semua penerimaan dijadikan satu dulu baru didistribusikan untuk berbagai pemanfaatan (termasuk membantu keperluan BPJS). Tapi tidak ada alokasi khusus dari cukai rokok untuk bidang kesehatan. Kecuali yang bagi hasil cukai untuk daerah (tapi realisasinya tidak tahu apakah sepenuhnya untuk kesehatan).
Kenaikan Cukai Rokok Harus Dibarengi Kebijakan-kebijakan Lain untuk Menurunkan Konsumsi Rokok
Dalam perbincangan tersebut juga ada beberapa penelpon yang menyampaikan tanggapan atau masukan dan lain-lain. Ada tanggapan dari seorang perokok aktif. Beliau menyampaikan masukan soal akses rokok yang perlu dibatasi. Seperti regulasi pembatasan penjualan rokok (di warung-warung penjual rokok), tidak adanya akses beli secara online, tidak adanya smoking area, dan lain-lain. Pokoknya jika akses untuk mendapatkan rokok dibatasi, maka konsumsi rokok pasti akan turun.Menanggapi hal itu kedua narasumber setuju. Memang, kenaikan cukai rokok harus dibarengi dengan kebijakan-kebijakan lain untuk menurunkan konsumsi rokok. Kebijakan-kebijakan itu antara lain pembatasan akses untuk mendapatkan rokok, pelarangan impor daun tembakau, harga daun tembakau harus naik, dan lain-lain.
Daun tembakau. (Sumber gambar: pixabay.com). |
Bagaimana soal kesejahteraan petani tembakau? Banyak hal perlu dibenahi jika ingin membantu petani tembakau. Seperti melarang impor daun tembakau, naikkan tarif bea masuk impor daun tembakau, dan lain-lain.
"Rokok ini seharusnya diperlakukan sama dengan minuman beralkohol, karena keduanya sama-sama dikenai cukai," tambah Abdillah Ahsan.
Karena saat ini, kita bisa menemukan rokok di sembarang tempat, tapi tidak bisa menemukan alkohol di sembarang tempat.
#RuangPublikKBR serial "Putusin Aja" edisi ke-7 dengan teman "Cukai rokok Naik, Lalu Apa?" itu diakhiri dengan penegasan dari Abdillah Ahsan.
"Kita mengawal, memastikan, dan mendesak agar nenaikkan tarif cukai yang sangat tinggi untuk kretek mesin golongan satu. Datanya ada di pemerintah siapa itu mereka. Tolong itu dinaikkan," tukas beliau.
Baca juga: 5 Tips Hidup Sehat Fisik dan Psikis.
Kesimpulan
Kenaikan cukai rokok tidak cukup untuk menurunkan konsumsi rokok di Indonesia. Karena kenaikan sebesar (hanya) 23 persen sangat tidak berefek pada para perokok aktif. Masyarakat tak berduit pun masih bisa membeli rokok jika harganya masih di kisaran 27 ribu rupiah. Bahkan anak-anak sekolah sekalipun. Selain harga per bungkusnya masih terjangkau, mereka juga bisa mendapatkan rokok ketengan/batangan di warung-warung kecil di manapun. Ya, karena belum ada pembatasan akses untuk mendapatkan rokok.Sementara itu, cukai sebagai penerimaan negara manfaatnya belum bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang menjadi korban rokok secara langsung atau tidak langsung. Karena ternyata, belum ada alokasi khusus dari cukai rokok untuk kesehatan.
Maka kenaikan cukai rokok saja tidak cukup untuk menurunkan konsumsi rokok. Perlu kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan secara berkesinambungan. Dan kita semua tentu berharap agar pemerintah serta politisi akan semakin serius untuk #putusinaja memasukkan kebijakan pengendalian konsumsi rokok, termasuk soal pengendalian tembakau yang lebih ketat di berbagai agenda dan kebijakan politik yang akan dibuat. Jika tidak, maka angka prevalensi perokok (termasuk perokok anak) akan terus meningkat. Akibatnya kita mungkin akan kesulitan mencapai Generasi Emas 2045 serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
***
Note:
Untuk menyimak perbincangan lengkap Ruang Publik KBR edisi ke-7, bisa didengarkan melalui podcast di link berikut: https://m.kbrprime.id/ruang-publik/cukai-rokok-naik-lalu-apa
kalau pembatasan produk siapa saja yang bisa dipasar, nanti ada yang legal dan ilegal dan monopoli kelompok tertentu n_n. Kayaknya seh gitu
ReplyDeleteMenurutku, untuk menurunkan konsumsi rokok, harus ada promosi yang sangat wajar secara individual. Karena, kesehatan itu adalah hak individual. Itulah susahnya jika promosi kesehatan dilakukan secara kelompok. Sebab kenapa orang merokok itu sangatlah berbeda.
ReplyDeleteContoh yang baik, bilang aja, merokok itu orangnya egois dan batasi tempat untuk merokok yang aman di Indonesia
Setuju, ada banyak faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi rokok. Baru tahu cukai ada bedanya dengan pajak, kukira cukai itu untuk brang/jasa dari luar negeri sedangkan pajak dari dalam negeri. Semoga para perokok segera sadar menghentikan kecanduan rokoknya.
ReplyDeleteMeresahkan sekali memang kalau ada perokok yg ngebul tidak tahu tempat, bahkan sodaraku yg dulu udah berenti merokok pun kembali merokok lagi sekalipun harganya naik sih, :3
ReplyDeleteBapakku dulu juga perokok aktif. Pas Adikku ngrokok, Bapak berhenti biar dia ikutan gitu. Eh gak mempan. Cukai naik, semoga ya banyak yg berhenti ngrokok
ReplyDeleteSetuju bgt kurang efektif pdhl,alah m mereka pengen beli yg eceran perbatang kank, gak berkurang malah semakin menjadi roko yg lebih murah di cari2
ReplyDeleteRokok bagi sebagian orang Indonesia ibarat nasi. Menaikkan cukai gak akan menghalangi orang untuk membelinya
ReplyDeleteini sepertinya menyasar ke kalangan ekonomi rendah atau gaya hidup mengenai cukai ini, memang belum cukup harus ada regulasi yang lebih kuat lagi
ReplyDeleteSebenarnya kalau harga beacukai naik malah eksport yang naik.
ReplyDeleteHarga rokok lokal mah tetap gak ada naiknya. Bisa dilihat sih sekarang ini gak tinggi amat naiknya.
Wah..bisa denger siarannya pakai Podcast yaa...
ReplyDeleteAku penasaran sama Pemerintah dalam mengendalikan cukai rokok ini.
Simalakama banget gak siih..?
Harapanya dengan kenaikan cukai rokok bisa mengurangi angka perokok. Semoga lah harapan sesuai pada kenyataan.
ReplyDeleteCukai tembakau ternyata rumit ya.Nggak segampang ngisep rokoknya
ReplyDelete