Pandemi Covid-19 telah melahirkan berbagai bentuk empati bagi sebagian orang. Kondisi-kondisi yang ada di sekitar kita saat ini seringkali mampu membuka mata dan hati kita lebih lebar. Ternyata, banyak hal yang mesti kita pedulikan.
Sebelum membaca lebih lanjut, kita samakan dulu pengertian kita tentang empati, ya. Siapa tahu ada yang berbeda pendapat. Hehe. Nah, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), empati adalah:
"Keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain."
Oke, mungkin sudah jelas, ya, pengertian di atas. Kalau simpati biasanya hanya melibatkan perasaan, empati maknanya lebih dalam lagi. Jika kita berempati, biasanya akan berusaha "masuk" lebih dalam pada masalahnya. Masuk dalam arti positif, ya. Entah itu berusaha membantu secara materi, memecahkan masalahnya, dan sebagainya.
Saat berempati, kita mencoba membayangkan, pikirkan, rasakan, jika kita berada pada posisi mereka. Lalu berusaha membantunya semampu kita.
Bentuk Empati Saat Pandemi
Sebelum pandemi melanda, mungkin kita hanya berempati pada orang-orang di dekat kita dan pada beberapa hal saja. Entah itu berempati pada teman atau saudara yang sedang kesusahan secara materi, ada yang sedang sakit, ada masalah rumah tangga, dan sebagainya. Namun di masa pandemi Covid-19 ini, banyak sekali pihak-pihak yang terdampak dari berbagi segi kehidupan. Dimana situasi dan kondisi itu semua menumbuhkan empati pada diri kita.
Ada beberapa bentuk empati yang semestinya ada di hati dan pikiran kita di masa pandemi ini. Saya sendiri merasa perlu berempati pada hal-hal berikut ini.
Sumber gambar: pixabay.com |
Berempati pada kondisi ekonomi orang lain.
Kesulitan ekonomi merupakan dampak yang paling nyata dari pandemi ini. Bukan hanya orang-orang yang biasanya berpenghasilan kecil seperti penjual kue keliling, pemilik warkop, dan sejenisnya, tapi hampir semua jenis pekerjaan ikut terdampak. Tiba-tiba banyak sekali yang mengeluh soal biaya hidup sehari-hari. Miris sekali mendengarnya.
Kita yang masih diberikan kemudahan dalam bekerja, kemudahan dalam memperoleh rezeki materi, sudah semestinya berempati pada mereka yang kesulitan ekonomi akibat pandemi. Jika masih mampu membantu, mari kita bantu mereka meski sedikit. Bisa melalui lembaga-lembaga sosial terpercaya, atau kita bantu langsung jika memungkinkan.
Baca juga: Daftar Syukur Ketika Harus #DiRumahAja Saat Covid-19 Melanda.
Empati pada para pasien Covid-19.
Pasien Covid-19 semakin hari semakin banyak. Saya merasakan sekali bagaimana sedihnya menjadi orang terdekat dari pasien Covid-19 ketika kakak dan adik saya (masing-masing pasangan suami istri) positif Covid-19 beberapa waktu yang lalu. Jadi bisa membayangkan bagaimana rasanya jika kita yang menjadi pasien. Gerak enggak bebas, pikiran dan perasaan selalu khawatir, dan hal-hal eggak enak lainnya.
Sudah semestinya kita yang diberikan nikmat kesehatan, terhindar dari Covid-19, turut berempati pada para pasien virus corona tersebut. Kita bantu mereka, bisa dengan bantuan materi ataupun non materi. Bisa dengan membantu kebutuhan keluarganya ataupun memberikan motivasi untuk sembuh.
Empati pada para tenaga kesehatan.
Sampai saat ini tenaga kesehatan (nakes) tetap menjadi garda terdepan dalam pemberantasan virus corona. Siang malam tenaga dan pikiran mereka curahkan untuk melayani para pasien Covid-19. Bayangkan jika kita berada di posisi mereka, sudah lelah jiwa raga namun di luar rumah sakit masih banyak mereka temui orang-orang yang tak patuh dengan protokol kesehatan..
Seharusnya kita bisa berempati kepada mereka, minimal dengan selalu memakai masker jika keluar rumah dan menjauhi kerumunan. Coba kita ikut merasakan betapa jengkelnya mereka, ketika usaha keras mereka melawan virus itu tidak diimbangi dengan kepatuhan masyarakat. Bentuk empati kepada para nakes sebenarnya sudah jelas sekali, mari kita patuh pada protokol kesehatan.
Tentang pilihan sekolah daring atau tatap muka.
Sebenarnya saya termasuk orang tua yang tidak setuju dengan adanya pembelajaran tatap muka selama masa pandemi ini. Meski diadakan secara bergilir sehari 5-10 anak per kelas dan menggunakan masker, tapi saya tetap memilihkan anak-anak saya untuk belajar secara daring (online) saja. Namun begitu saya enggak serta merta memprotes sekolah karena kebijakan campuran (ada belajar daring ada pula belajar tatap muka) tersebut.
Saya paham para orang tua mempunyai kendalanya masing-masing dalam menghadapi proses belajar anak-anak di masa pandemi ini. Seperti misalnya, banyak orang tua yang bekerja di luar rumah sehingga anak-anak mereka enggak ada pengawasan dalam memegang gadget di rumah jika anak-anak itu melakukan sekolah daring. Belum lagi jika anak-anak itu bermain di luar rumah, bagaimana makannya, dan lain-lain. Dengan adanya tatap muka di sekolah seminggu dua kali, bisa sedikit mengurangi beban mendampingi anak sekolah daring.
Saya juga paham pihak sekolah sudah melalui proses musyawarah untuk menentukan keputusan sekolah daring ataupun tatap muka. Mereka berusaha mengakomodir semua kebutuhan para orang tua.
Maka dari itu saya berempati pada para orang tua atas setiap pilihan mereka untuk pendidikan anak-anaknya di masa pandemi ini. Saya juga berempati pada sekolah atas usaha para guru untuk mengatasi situasi sulit ini. Hanya bisa mendoakan semoga semuanya baik-baik saja hingga virus corona ini bisa teratasi keberadaannya.
Baca juga: Wisuda Drive Thru Anak TK di Masa Pandemi Covid-19.
Kemampuan anak dalam belajar itu berbeda-beda.
Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) baik sekolah secara daring maupun tatap muka seminggu dua kali, membuat kami para orang tua tahu tentang kemampuan akademik anak sendiri dan sedikit tahu tentang kemampuan anak-anak lain. Karena hasil tugas sekolah kadang ada yang dishare di WhatsApp Group kelas. Ada anak yang cepat menangkap pelajaran, ada yang lambat, ada yang malas (karena mungkin kurang tertarik dengan pelajaran tertentu), dan lain-lain.
Seperti misalnya, si sulung saya sangat lambat menerima materi pelajaran Matematika. Saya sering naik darah jika sedang mendampinginya belajar, hehe. Di sisi lain, ada temannya yang lambat sekali hafalan surat pendek, ada pula yang susah diajak shalat 5 waktu, ada yang sering ketinggalan mengerjakan tugas, dan lain-lain.
Saya jadi berempati pada anak sendiri dan anak-anak lain. Saya coba menempatkan diri seperti anak-anak itu. Mungkin kemampuan anak A kurang baik dalam pelajaran Bahasa Inggris, mungkin anak B lebih pandai dalam membaca Al-Qur'an, mungkin si C kurang terampil dalam membuat kerajinan tangan, dan lain-lain. Percuma juga jika dipaksakan nilainya harus bagus di semua mata pelajaran. Mungkin yang akan ada hanyalah keterpaksaan.
Saya jadi berusaha memahami mereka, menghargai tiap hasil belajar, dan enggak membanding-bandingkan capaian tiap anak. Karena kemampuan anak dalam belajar itu berbeda-beda.
Demikianlah sedikit tulisan saya tentang bentuk-bentuk empati saat pandemi. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui, sok bijak, atau apalah. Tapi saya hanya berusaha mengingatkan diri sendiri untuk lebih peka terhadap diri pribadi dan lingkungan. Kalaupun teman-teman ada yang bisa mengambil manfaat dari tulisan ini, ya, alhamdulillah. Terakhir, saya hanya sedikit mengingatkan, mari asah empati saat pandemi seperti sekarang. Seperti yang bu Tejo bilang:
"Nuraninya itu, lho, dipakai.. Empatinya, Pak.. Ya Allah..."
☺☺☺
No comments
Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.