“Umi dengar apa yang aku bilang tadi? Pelampungnya ditiup trus dikasih nama, bawa baju ganti, bawa plastik, bawa minum sama jajan..”.
Begitu celoteh Fahri (4,5 tahun) kemarin siang. Dia mengulang apa yang telah dikatakannya, memastikan apakah emaknya menyimak dengan baik. Soalnya saya yang di sampingnya sedang menyuapi adiknya. Mungkin karena mata saya tidak melihat wajahnya, dia pikir saya kurang memperhatikannya. Hehe.
“Iya, Umi denger, kok,” jawab saya sambil tersenyum lebar demi mendengar kalimat “Umi dengar..” hahaha.
Anak ini memang lumayan suka bercerita. Dan jika sedang bercerita, saya harus fokus mendengarkannya. Kalau saya kurang jelas, dia bersedia mengulang ceritanya 😍
***
Di lain kesempatan..
"Mi, ternyata film yang aku tonton di sekolah tadi bagus, lho. Trus mengharukan. Aku sampe nahan nangis gitu pas nonton. Mau nangis beneran malu je, hehe..". Begitu cerita si sulung (kelas 6 SD) sepulang sekolah.
"Oh, ya? Judul film-nya apa?"
"Emm.. Taare Zameen Par. Itu sih kalo gak salah. Nanti aku cariin deh di YouTube. Nanti kita nobar!"
Dan saya senang sekali ketika diajak nobar di ruang tamu, hihihi. Saya dan si sulung nonton dari awal sampai akhir, sementara adik-adiknya dan ayahnya ikut nonton meski sambil lalu. Kami nobar sambil sesekali mengomentari film bertema pendidikan dan parenting tersebut. Seru banget!
Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini: Tentang Disleksia dan Perhatian Orangtua dalam Film Taare Zameen Par.
***
Pada kesempatan berbeda..
"Mi, Sabtu besok ada market day. Aku jualan apa, ya?" tanya si nomor dua (kelas 3 SD).
"Lha maunya jualan apa? Dulu udah jualan aksesoris dan alat tulis. Sekarang apa?"
"Jualan jajanan gitu? Puding atau es atau gorengan apa gitu? Gimana, Mi?"
"Waduh, mesti masak dong, ya? Umi sempet gak ya masak-masak? Adek (bayi) minta gendong dan ditemenin terus, tuh.." (alasan emak yang gak pinter plus malas masak, nih 😂 )
Akhirnya hari itu kami belum menemukan keputusan yang tepat. Dan ternyata, besoknya dia bilang, "Mi, ternyata kelas 3 disuruh jadi pembeli kali ini.. yang jualan kakak-kakak kelas 4, 5, dan 6."
Yhaaa.. 😂😂 (eh, maksudnya alhamdulillah enggak jadi masak-masak 😚).
***
Baca juga: Menilik Kesiapan Anak Balita Belajar Formal.
Anak-Anak Memberikan Pelajaran Berharga pada Orangtua
Begitulah. Sekelumit percakapan-percakapan di dalam keluarga kami. Saya dan suami bersama kelima anak kami, kerap kali melakukan dialog yang tampaknya ringan, namun bagi saya memberikan kesan-kesan tersendiri. Entah itu berupa kegembiraan, kehangatan, hingga pelajaran-pelajaran berharga. Pun belajar menemukan kecerdasan spesifik apa yang ada pada diri mereka, seperti yang pernah saya baca pada artikel di parentsquads.com
Misalnya pada percakapan pertama. Dari dialog dengan si nomor empat yang duduk di bangku Play Group itu saya secara tidak langsung diingatkan untuk menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak. Apalagi, dia masih berusia 4,5 tahun, dimana usia ini adalah usia "menjadi raja" sesuai tahapan mendidik anak secara islami menurut sahabat Nabi, Ali bi Abi Thalib r.a.
Anak yang sering didengarkan oleh orang tuanya, konon akan merasa dihargai dan dirinya merasa aman. Hal ini tentunya akan menjadi dasar bagi pijakan selanjutnya hingga ia dewasa nanti.
Kemudian obrolan saya dengan si sulung, lalu kami nonton bareng, layaknya aktivitas seru dengan seorang sahabat. Kami juga berdiskusi tipis-tipis, dari diskusi suka-suka hingga saya menyelipkan pesan-pesan baik. Dari nobar itu saya juga jadi bertambah ilmunya. Karena isi filmnya yang sangat bagus mengenai dunia pendidikan dan parenting.
Lalu pada dialog dengan si nomor dua, saya juga belajar menjadi pendengar yang baik, meski belum bisa memberikan solusi.
Dengan menjadi pendengar yang baik, teman diskusi, saya berharap anak-anak juga akan selalu nyaman berbagi cerita dengan saya, ibunya. Harapan saya, mereka akan selalu seperti itu hingga dewasa nanti. Sehingga saya akan mudah mengetahui perkembangan mereka, yang saya tahu, semakin besar akan semakin kompleks pergaulan dan segala macamnya.
Tak hanya melalui dialog, dari tingkah laku anak-anak, tumbuh kembang mereka, saya juga belajar banyak hal. Sejak anak-anak lahir, dari anak pertama hingga anak kelima, saya selalu belajar. Seringkali saya menemukan hal-hal baru meskipun peristiwa serupa sudah pernah saya alami.
Misalnya soal perkembangan calistung (baca tulis hitung) anak. Meskipun pada anak pertama saya sudah belajar bagaimana cara mengajari anak calistung dan problematikanya, namun ternyata setiap anak berbeda cara belajarnya. Adik-adiknya punya "kasus" yang berbeda dengan kakaknya. Sehingga saya kembali belajar hal-hal baru lagi. Saya juga jadi paham bahwa Tiap Anak Punya Masanya Sendiri-Sendiri.
Demikianlah, anak-anak kadang seperti sahabat, dan seringkali menjadi guru bagi kami. Meskipun menurut Ali bin Abi Thalib r.a. rentang usia menjadikan anak sebagai sahabat adalah usia 14-21 tahun, namun sejak anak kecil sudah seharusnya kita menjadi pendengar yang baik bagi anak, layaknya seorang sahabat.
Karena seperti yang telah saya sebut di atas, dengan kita menjadi pendengar yang baik, anak akan merasa dihargai dan merasa aman. Dengan bekal itu, anak akan lebih percaya diri. Pengalaman mendidik anak pertama, saya akui saya masih banyak sekali kekurangannya, termasuk kurang menjadi pendengar yang baik.
Berbekal pengalaman seperti itulah, saya terus belajar memperbaiki diri, belajar menjadi orang tua yang lebih baik dan lebih baik lagi bagi anak-anak saya. Maka benar jika saya katakan, anak-anakku adalah sahabat dan guru kehidupanku. Terima kasih, Nak! 💖
Keluarga 5 anak tanpa babysitter tanpa ART, super strong dahh. Alhamdulillah anak2nya terbuka ya Mbak.
ReplyDelete