Dari kemarin rasanya ngganjel banget ini hati. Ya, sudah, curhat lagi, Buk… hehehe. Yap, untung saya punya blog. Di sini saya bisa curhat sesuka hati (tapi semoga enggak kebablasan buka segala aib diri, ya, hihi..). Enggak diprivate saja blogpostnya? Enggak! 🙃
Jadi, beberapa hari ini rasanya sedih sedih dan sedihhh aja. Padahal saya tuh sadar, bahwa hal-hal yang membuat saya sedih itu bukan masalah besar. Tapi kok ya sedihnya enggak hilang hilang. Tapi, ya, memang, ada satu hal yang bikin saya sedih banget.
Ehm, jadi sesuatu hal itu adalah soal si sulung. Si sulung yang enggak ikut Kemnas (Perkemahan Nasional) di Cibubur yang berlangsung selama sepekan ini. Dia yang enggak ikut Kemnas, tapi saya yang sedihnya enggak hilang hilang. Huhu.
Ceritanya, sudah sejak beberapa waktu lalu dibuka pendaftaran Kemnas. Saya suruh si sulung ikut daftar. Tapi dia enggak mau. Katanya teman dekatnya (sekelas) enggak ikut, jadi dia enggak ikut juga.
Enggak cuma sekali saya menyuruhnya ikut. Soal biaya, insyaa Allah ada lah (biayanya enggak sedikit menurut kami, yaitu sekitar 4 juta rupiah). Namun dia tetap enggak mau.
Kemudian sesuatu yang saya takutkan terjadi. Pada saat pendaftaran sudah ditutup, dia bilang menyesal enggak daftar. Apalagi saat rombongan dari sekolah hendak berangkat ke Cibubur, rasanya pengen banget ikut.
Yah, Le, kamu ini.. 😢
Saya jadi sedih banget. Dan berusaha bilang ke si sulung, "Ya sudah, enggak usah disesali yang sudah terlanjur dan terjadi. Lain kali, dengerin kata orang tua."
Padahal saya sendiri rasanya tuh down banget. Sesuatu yang seharusnya bisa kami lakukan, kesempatan bagus yang seharusnya bisa dimanfaatkan, terlewat begitu saja.
Lalu saya jadi bilang ke diri sendiri, "Sekarang aku tahu rasanya jadi mereka". Gimana rasanya cuma jadi penonton, gimana sedihnya ketika anak kita tak bisa seperti anak mereka.
Ya, bisa dibilang si sulung adalah anak yang "di atas rata-rata". Kadang, beberapa orang tua murid bilang atau japri saya via WA, memuji kecakapan si sulung, prestasi belajarnya, kesempatan belajar yang diperolehnya, dan sebagainya.
Kini, ketika si sulung tak mendapatkan kesempatan belajar yang bagus, sedangkan beberapa anak lain bisa, saya bisa tahu bagaimana perasaan "ingin seperti mereka" yang mungkin pernah dirasakan ortu lain saat melihat si sulung.
Lalu pikiran saya jadi ke mana-mana.
"Sekarang aku tahu bagaimana rasanya jadi ortu dengan prestasi anak yang pas-pasan bahkan di bawah rata-rata."
Dulu, saya tak pernah kesulitan mengajari hafalan surat-surat Al-Qur'an kepada si sulung dan si nomor dua. Hafalan mereka terhitung cepat, hampir tanpa hambatan. Sementara ortu lain ada yang tertatih-tatih mendampingi hafalan anaknya.
Sekarang, saya lumayan kesulitan saat mendampingi hafalan si nomor tiga. Belum lagi kemampuan baca dan tulisnya masih sangat minim. Saya jadi tahu rasanya harus menerima kondisi anak yang seperti itu.
Ya, sekarang saya tahu rasanya jadi mereka. Gimana rasanya cuma jadi penonton, gimana sedihnya ketika anak kita tak bisa seperti anak-anak mereka.
Ah, tak perlu bersedih lagi! Ayo semangat! Karena masih banyak dan masih panjang jalan terbentang. Dengan menuliskan ini semua, semoga perasaan saya bisa lebih PLONG. Jangan sombong dan jangan pula rendah diri dalam membersamai tumbuh kembang anak-anak. Semangat!
*Note to my self
No comments
Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.