Diana Cristiana Dacosta Ati, Menggugah Asa Anak Negeri di Pedalaman Papua

anak anak di pedalaman papua
Sumber gambar: https://olret.viva.co.id

"Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai melukis di atas air."


Tentunya teman-teman sudah pernah mendengar pepatah di atas, ya? Pepatah dari bahasa Arab ini antara lain bermakna bahwa masa kecil adalah waktu terbaik untuk belajar apa pun. Karena ketika masih kecil, otak kita lebih mudah mengikat segala macam informasi. Karena otak masih cenderung kosong. Belum terisi oleh berbagai macam informasi atau pengalaman.

Sedangkan jika kita baru mulai belajar saat dewasa, maka ilmu yang diterima akan mudah terhapus atau hilang. Hal ini karena memori otak kita sudah lebih banyak terisi oleh segala macam informasi maupun peristiwa atau pengalaman.

Seperti halnya, mengajarkan membaca dan menulis lebih mudah dilakukan kepada anak kecil daripada mengajarkannya kepada anak remaja atau orang dewasa. Anak kecil usia balita (bawah lima tahun) atau batita (bawah tiga tahun) akan cenderung lebih mudah diajari membaca dan menulis.

Berbeda dengan anak usia 10 tahun ke atas, akan lebih sulit diajari. Karena mereka seharusnya sudah mengerti banyak hal melalui membaca dan menulis. Lalu jika membaca saja belum bisa, bagaimana bisa mengerti banyak hal yang hanya bisa didapatkan dari membaca?

Demikianlah salah satu tantangan atau kendala yang dihadapi oleh Diana Cristiana Dacosta Ati, seorang guru penggerak di pedalaman Papua, Indonesia. Banyak anak remaja yang belum bisa membaca di sana. Dan, bukan hanya soal murid yang belum bisa membaca di usia remaja, namun banyak kendala lain yang dihadapinya. Berikut ini sepenggal kisah Diana Cristiana Dacosta Ati yang bisa saya sampaikan.


Kisah Ini Berawal dari Kecintaan Diana pada Tanah Air Indonesia

Diana lahir di Timor Leste pada tahun 1998. Ayahnya berasal dari Timor Leste, sedangkan ibunya dari Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lalu seperti kita ketahui bersama, pada tanggal 30 Agustus 1999 Timor Leste (Timor-Timur) menggelar jajak pendapat pada masyarakat, untuk memilih melepaskan diri atau tetap bergabung dengan Indonesia.

diana cristiana dacosta ati
Diana Cristiana (Sumber: https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards).


Di usianya yang masih kurang dari dua tahun, Diana harus berpisah dari sang ayah karena ayahnya yang berdarah Timor Leste memilih kembali ke negaranya. Sementara itu Diana mengikuti ibunya yang memilih kembali ke Atambua, NTT. Dari kisah di masa kecilnya inilah tampaknya yang menjadikan Diana begitu cinta dengan Indonesia. Ibunya tetap memilih Indonesia, begitupun Diana.

Kecintaan kepada Indonesia terus terpatri di hati Diana. Itulah mengapa setamat dari SMA, Diana melanjutkan studi ke Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT. “Pengalaman pergolakan soal kewarganegaraan di masa kecil membuat saya semakin hari mencari cara untuk menunjukkan kecintaan pada bangsa. Bahkan waktu kuliah saya memilih jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.”

Setelah lulus kuliah, pada tahun 2018 Diana mendaftarkan diri untuk menjadi Guru Penggerak Daerah Terpencil di daerah Papua Selatan. Dia terinspirasi oleh senior-seniornya yang mengatakan bahwa anak-anak di pedalaman sana sangat membutuhkan para guru untuk sekolah. Maka dia pun kemudian menjadi Guru Penggerak Daerah Terpencil yaitu di Sekolah Dasar Negeri Kaibusene, Distrik Haju, Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan.

Saat pertama kali sampai di Kampung Atti dan sekolah itu, Diana kaget karena kondisi alam maupun bangunan dan anak-anak jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Kondisinya jauh lebih memprihatinkan dari apa yang dia pikirkan. Daerahnya penuh rawa-rawa, sekolahnya hanya ada tiga ruangan untuk 6 kelas, lalu meja kursinya sangat sedikit dan banyak yang tidak layak pakai. Sehingga anak-anak biasanya belajar dengan duduk di lantai.

Diana sedih, miris, namun dia tidak ingin pergi. Dia bertekad untuk tetap tinggal di sana untuk mengajar anak-anak di SD tersebut. Dia ingin membuat perubahan. Dia ingin anak-anak tersebut punya mimpi tinggi dan kelak menjadi orang-orang dengan kehidupan yang lebih baik.

diana cristiana bersama anak didik
Sumber gambar: IG @diana_cristiana_da_costa


Pengabdian yang Penuh Perjuangan

Tidak heran jika banyak guru yang tidak bertahan lama di SD Negeri Kaibusene. Kondisi yang sangat memprihatikan hanyalah salah satu penyebabnya. Jika dirangkum, berikut ini tantangan atau kendala yang dihadapi Diana dan dua rekannya yang mengajar di sana:

👉 Mindset masyarakat

SD Negeri Kaibusene adalah satu-satunya sekolah di Kampung Atti. Yang membuat sedih, ada sekitar 200 kepala keluarga di Kampung Atti, tetapi banyak anak tidak bersekolah karena membantu orang tua mencari makan di hutan. Mindset masyarakat di sana adalah, orang yang hebat adalah yang pandai berburu. Bukan yang pandai sekolah.

Hal ini menjadi tantangan bagi Diana, bagaimana meyakinkan para orang tua akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.

👉 Usia anak didik

Usia anak didik di SD Negeri Kaibusene sangat beragam. Di kelas 6, ada anak yang berusia 17 tahun. Dan mirisnya, ada anak kelas 6 yang belum bisa membaca dan menulis. Seperti sudah saya tulis di awal tulisan ini, tentu tidak mudah mengajari anak remaja tersebut membaca dan menulis. Kalau menegur mereka harus hati-hati agar tidak tersinggung, dan sebagainya.

👉 Kondisi sekolah dan lingkungan

Seperti sudah disinggung di atas, kondisi sekolah yang berada di antara rawa-rawa tidak mudah dijangkau anak-anak dan guru. Belum lagi kondisi bangunan dan peralatan serta perlengkapan sekolah yang sangat minim. Ini menjadi tantangan bagi Diana dan rekan guru lainnya. Sehingga Diana sering mengajak anak-anak didiknya belajar di luar kelas agar tidak bosan dan agar belajarnya lebih menarik.

👉 Materi pelajaran sekolah

Buku-buku pelajaran yang digunakan di daerah-daerah lain di Indonesia tidak cocok jika digunakan di SD Negeri Kaibusene. Pasalnya, isinya kadang tidak bisa dipahami oleh para murid. Misalnya saja, alat transportasi sehari-hari ada contoh kereta api. Nah, anak-anak di pelosok Papua itu belum pernah melihat seperti apa kereta api. Jadi mereka tidak bisa relate. Dan sebagainya.

Diana juga harus bekerja keras untuk mengenalkan identitas nwgara Indonesia kepada murid-muridnya. Karena di awal Diana mengajar di sana, anak-anak tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Bayangkan saja, anak-anak di sekolah itu tak bisa menyebutkan warna bendera Indonesia. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6. Begitu juga dengan Pancasila, mereka tidak hafal sama sekali.

Kendala-kendala seperti di atas disebabkan oleh berbagai faktor. Antara lain karena aktivitas belajar-mengajar memang sudah terhenti lama sebelum Diana tiba karena guru dari luar jarang datang. Sehingga di awal kedatangannya Diana fokus mengajarkan baca-tulis, berhitung, dan nasionalisme. 


Dampak dari Dedikasi Sepenuh Hati

“Saya percaya ketika seorang guru bekerja dengan niat baik, leluhur dan nenek moyang orang Papua merestui bahkan Tuhan melihat semua ketulusan kita maka diberkati semua usaha kita," kata Diana.


Setelah kehadiran Diana dan dua rekannya, anak-anak Kampung Atti mulai bisa membaca dan menulis. Sejak Februari 2019 siswa SD Negeri Kaibusene mengalami banyak perubahan. Saat Diana pertama kali mengajar di SD itu, jumlah peserta didiknya 65 orang. Per Juli tahun 2021 jumlah siswa di SD Negeri Atti bertambah menjadi 85 orang. Bahkan, kini sudah banyak siswa yang telah melanjutkan sekolah ke SMP. Pada 2022 sebanyak 24 siswa SD Negeri Atti berhasil masuk SMP. Lalu pada tahun 2023, sebanyak 14 anak juga berhasil melanjutkan sekolah ke SMP.

Disamping itu, Diana dan guru lainnya mempunyai perpustakaan mini dengan jumlah buku 500 buah. Setiap hari, pukul 16.00 WIT, anak-anak membaca di perpustakaan tersebut. Mereka berlatih membaca dan menulis. Mereka melakukannya sebab mereka mulai paham pendidikan itu untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Diana merasa senang, karena anak didiknya sekarang sudah fasih menyanyikan lagu Indonesia Raya. Begitu juga lagu bahasa Inggris dasar yang diajarkan olehnya, walau masih banyak siswa yang tak paham maksudnya.

Diana juga menuturkan, bahwa anak-anak juga sudah jarang ke hutan lagi ikut orang tuanya. Karena Diana dan para guru bersikeras berkata kepada orangtua siswa, cukup mace (ibu) dan pace (bapak) saja yang ke hutan. Anak-anak harus tetap belajar di sekolah.

Atas pengabdian dan dedikasinya yang penuh tantangan tersebut, tidak mengherankan jika Astra memberikan apresiasi kepada Diana. Ibu guru penggerak nan inspiratif di daerah terpencil di Papua tersebut menerima penghargaan Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 (tingkat nasional) dalam kategori pendidikan atas kontribusinya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut.

diana cristiana menerima penghargaan SIA 2023
Sumber gambar: IG @diana_cristiana_da_costa

satu indonesia awards 2023
Sumber gambar: IG @diana_cristiana_da_costa


FYI
, SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards merupakan apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya. Apresiasi ini meliputi bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut. Penerima apresiasi tingkat nasional masing-masing akan mendapatkan dana bantuan kegiatan sebesar Rp65.000.000 (enam puluh lima juta rupiah) serta pembinaan kegiatan.

Dian Sastro (pegiat seni) sebagai salah satu juri dalam SATU Indonesia Awards 2023 mengatakan bahwa Diana memang sangat inspiratif. Enggak mudah mendidik anak-anak di pelosok Papua itu, apalagi ada anak kelas 6 SD yang belum bisa baca tulis. Diana dinilai telah berkontribusi secara nyata, bekerja sepenuh hati sepenuh jiwa, bekerja dalam diam, di pelosok terdalam dan terluar, yang tidak butuh pengakuan.

Indonesia membutuhkan para pendidik seperti Diana. Mereka yang mau mendidik sebanyak-banyaknya orang dengan hati, yang menjadikan manusia-manusia yang pandai dan berkarakter. Sehingga pendidikan yang sustainable atau berkelanjutan dapat terwujud. 

Bagaimana dengan kita?

****

Sumber:

  • https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
  • YouTube Bumi Papua (https://www.youtube.com/@bumipapua1440)
  • https://www.hidupkatolik.com/2022/02/04/58867/diana-cristina-da-costa-ati-mimpi-guru-di-pedalaman-papua.php



No comments

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.